Isu Jugun Ianfu, atau wanita pemuas nafsu birahi tentara Jepang di masa Perang Dunia Kedua masih merupakan isu yang sensitif hingga hari ini. Baru-baru ini di Jepang dipamerkan foto-foto para mantan Jugun Ianfu asal Indonesia.
Sebagaimana dilansir dari Japan Times, foto-foto dari 16 mantan Jugun Ianfu asal Indonesia tengah dipajang di sebuah galeri di Tokyo pada sebuah pameran yang menceritakan tentang penderitaan mereka di masa perang.
Para wanita ini diculik secara paksa untuk memuaskan nafsu birahi personel militer pendudukan Jepang, namun terus menutup mulut mereka selama ini sampai kedua jurnalis asal Belanda, Hilde Janssen dan photographer Jan Banning mewawancarai mereka.
Tiap-tiap potret dari Banning disertai dengan beberapa pengakuan dari mereka mengenai pengalaman mereka selama Perang Dunia 2.
Janssen dan Banning memulai penelitiannya pada tahun 2007 dan mengumpulkan berbagai data wawancara dan foto kepada hampir 50 orang mantan Jugun Ianfu selama 3 tahun.
Banning mengakui, bahwa para korban tersebut merasa “menderita” saat menceritakan pengalaman mereka dan “menderita kembali” ketika mereka menyadari tengah disorot kamera.
Untuk sedikit “menurunkan kadar ketegangan”, Banningpun membawa para korban ini ke studio kekiniannya setelah Janssen mewawancarai mereka.
Berdasarkan deskripsi yang terdapat pada salah satu foto, salah seorang korban bernama Mastia telah diculik dari komunitasnya bersama dengan 15 orang lainnya dan dipaksa menjadi budak seks. Setelah perang berakhir, ia menjalani ritual agama untuk menghapus “dosa-dosanya.” Meskipun begitu, tetap saja masyarakat sekitar terus saja memandangnya dengan sinis sebagai “pemuas birahi Jepang.”
Korban lainnya, Niyem, diculik pada umur 10 tahun. Diceritakan dirinya diculik saat sedang bermain dan dibawa ke kamp militer di Jawa Barat untuk kemudian diperkosa oleh tentara Jepang sembari menjadi bahan tontonan tentara Jepang lainnya. “Aku masih sangat muda, dan hanya dalam waktu 2 bulan tubuhku telah hancur,” sebagaimana diceritakan olehnya.
Di saat sebagian kalangan di Jepang terus membantah praktek penculikan wanitaa sebagai pemuas nafsu birahi, Banning berharap para pengunjung untuk “melihat mata para wanita itu” untuk melihat dan merasakan penderitaan mereka.
Bagi Banning, Pemerintah Jepang “bertanggung jawab telah mendirikan sistem perbudakan seksual” tersebut di masa perang.
Pameran ini digelar di Kid Ailack Art Hall in Tokyo di Setagaya Ward di bawah naungan Women’s Active Museum on War and Peace dan digelar sampai 25 Oktober 2015. Sebelumnya pameran ini juga telah digelar di Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis.
Orang tua Banning sendiri berasal dari Hindia Belanda, yang diduduki Jepang pada 1942. Ayah dan Kakeknya pernah merasakan pahitnya kerja paksa di masa Jepang dan Ibu dan keluarganya sendiri dikurung dalam kamp interniran.
Sementara itu Janssen, tinggal di India dan Indonesia selama hampir 20 tahun sejak 1991 dan bekerja sebagai koresponden media asal Belanda dan sebagai Antropologis.
“Para pengunjung akan merasakan seakan-akan mereka ditatap oleh 16 orang korban, alih-alih menatap mereka,” sahut Mina Watanabe, Sekjen dari Women’s Active Museum on War and Peace. “Kami berharap para pengunjung bisa menyadari akan segala penderitaan yang dialami para wanita ini,” timpalnya.
Pameran yang bertajuk “Comfort Women” ini diselenggarakan sampai 25 Oktober 2015 di Kid Ailack Art Hall di Setagaya-ku, Tokyo. Buka pukul 12.00 sampai 19.00 waktu setempat dengan tiket masuk sebesar 700 Yen. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada tautan berikut ini.
KAORI Newsline
sedih sekali kalo menjadi korban perang di saat itu tidak ada pembela tanah air yang ada yang terkuat bertahan yang lemah binasa