Benarkah Penumpang Benar-Benar Berperan Pada Gangguan KRL?

1

krl-commuter-stasiun-bogor

Dalam kunjungannya ke Jepang guna menyambangi kantor pusat East Japan Railway Company (JR East), Direktur Operasi dan Pemasaran PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), Subakir mengklaim bahwa penumpang KRL (kereta rel listrik) ikut berkontribusi dalam merusak sarana perkeretaapian (rangkaian KRL) dan memicu keterlambatan KRL. Subakir mencontohkan perilaku penumpang yang membuka jendela kereta api dan memaksa naik ke dalam rangkaian sebagai contoh. Tapi benarkah hanya karena faktor demikian?

Subakir mencontohkan lama buka tutup pintu yang di Jabodetabek, melebihi waktu 1-2 menit. Menurutnya, seharusnya penumpang menunggu hingga kereta berikutnya tiba agar dapat terangkut. Tetapi tampaknya Subakir, entah karena alasan tertentu, tidak menyadari ada faktor yang lebih dalam di balik perilaku penumpang tersebut.

Bila berkunjung ke jalur-jalur kereta api sibuk di Jepang (atau dalam contoh ini, Tokyo), setiap stasiun dan setiap jalur memiliki jadwal yang standar dalam lamanya buka-tutup pintu. Lamanya buka-tutup pintu akan bervariasi tergantung frekuensi KRL yang ada di jalur tersebut. Sebagai contoh, bandingkan antara stasiun di jalur Yamanote (JR East) dengan jalur Chuo (JR East). Di jalur Yamanote, buka-tutup pintu tidak lama (sekitar 30an detik) karena jumlah kereta yang sering, sementara itu di jalur Chuo, buka-tutup pintu berdurasi lebih panjang (40-an detik) karena frekuensi kereta yang tidak sesering jalur Yamanote. Sebagai perbandingan, di jalur Yamanote KRL datang tiap 3 menit sekali dan di jalur Chuo, KRL datang tiap 5 menit sekali. Contoh lebih ekstrem lagi ada di Tokyo Metro. Waktu buka-tutup KRL yang melintas di jalur-jalur Tokyo Metro hanya sekitar 15-20 detik saja. Begitu pintu dibuka, kondektur segera membunyikan bel keberangkatan dan setelah bel selesai diputar, pintu segera ditutup.

Selama ini di Jabodetabek tidak ada standar yang jelas mengenai lama buka-tutup pintu. Terkadang buka tutup pintu mengikuti keputusan pemimpin perjalanan kereta api yang bertugas memerahkan atau menghijaukan sistem persinyalan berdasarkan kondisi di lintas. Dengan mudah, penumpang bisa menemukan buka-tutup pintu yang sangat cepat, mulai dari 5 detik di stasiun Pasar Minggu Baru sampai 5 menit di stasiun Cawang karena antrian KRL yang panjang menuju Manggarai.

Alasan lain yang dikemukakan oleh Subakir adalah masalah penumpang yang membuka jendela karena KRL panas. Argumentasi dan polemik seputar pembukaan jendela KRL selalu menjadi topik abadi antara segelintir penumpang dengan operator. Operator kukuh mengeluh ulah penumpang menjadi kunci utama KRL terasa panas. Segelintir penumpang mengklaim operator – entah sengaja atau tidak sengaja – membuat KRL terasa panas pada jam-jam sibuk. Jawaban akan hal ini akan menimbulkan simalakama baru.

KRL sebagai moda transportasi berbasis listrik sangat mengandalkan ketersediaan suplai listrik. Suplai listrik yang stabil dan kuat menjadi kunci utama KRL dapat beroperasi dengan prima. Di Jabodetabek, KRL menggunakan standar listrik bertegangan 1500 volt satu-arah (DC). Namun sayangnya, kualitas suplai listrik tidak selalu memadai untuk memenuhi kebutuhan daya KRL. Mengapa bisa?

Di area Jabodetabek, tersedia sejumlah gardu (substation) listrik untuk memberi pasokan daya ke lintas. Kapasitas KRL yang ada di sebuah lintas akan dipengaruhi dengan jumlah listrik yang tersedia, apakah cukup untuk menambah jumlah perjalanan atau penambahan stanformasi (dari 8 kereta menjadi 10 atau 12 kereta). Praktiknya di lapangan, kapasitas listrik sering tidak memadai untuk mengakomodasi jumlah perjalanan yang terus bertambah seiring target KCJ untuk mengejar 1,2 juta penumpang pada tahun 2019. Di sisi lain, KCJ harus mencapai target tersebut.

Walau telah ada program pembangunan gardu-gardu listrik baru untuk menambah pasokan daya, namun karena beberapa hal, pasokan yang tersedia masih tidak mencukupi untuk memberikan suplai listrik yang stabil. KRL-KRL yang normalnya berjalan dengan voltase 1500 volt DC justru berjalan dengan suplai daya 1200 sampai 1300 volt DC. Dengan suplai daya berkuantitas di bawah standar, akan ada komponen-komponen yang harus berkorban karena bekerja dibawah tegangan dan daya yang seharusnya, dan umumnya akan menimbulkan gangguan atau kerusakan. Pada rangkaian seri 05, korban pertama adalah pendingin udara (AC).

Celakanya, kondisi seperti ini telah menjadi rutinitas sehari-hari. Penambahan stamformasi rangkaian dan permintaan agar headway semakin rapat demi mengurangi kepadatan KRL tidak diiringi dengan suplai listrik yang baik. Menjadi pemandangan sehari-hari KRL yang pada pagi atau siang (dan tengah malam) begitu dingin, tiba-tiba menjadi panas ketika dinaiki pada jam-jam sibuk. KRL seri 8500 yang beroperasi di Jabodetabek misalnya, telah menjalani rehabilitasi AC sehingga pada kondisi normal, jauh lebih dingin dibandingkan seri 8500 yang beroperasi di Jepang. Namun ketika dipakai pada jam-jam sibuk, KRL ini berubah dan kipas-kipasnya alih-alih menyejukkan udara, justru menyemburkan angin panas.

Bagaimana pilihan yang terbaik? Mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya meski dengan konsekuensi penurunan pelayanan atau memastikan pelayanan prima di dalam rangkaian namun dengan kondisi penumpang yang berdesak-desakan?

Meskipun memang ada segelintir penumpang iseng yang tetap membuka jendela KRL meski KRL tidak panas maupun mereka yang memaksa naik walau pintu KRL akan ditutup, sepertinya apa yang disampaikan Subakir hari ini ada baiknya diimbangi dengan fakta-fakta di lapangan yang bisa mencerahkan – alih-alih menyiram bensin dalam bara perdebatan transportasi publik di tengah masyarakat -.

KAORI Newsline | oleh Kevin W

 

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses