
Kontroversi mengenai Jepang memang tidak ada habisnya. Sikap pemerintah Jepang yang mendua mengenai beberapa konten kini memasuki babak baru.
William Pesek dalam Japanization sebelumnya telah menyinggung mengenai sikap ambigu pemerintah Jepang: di satu sisi, berusaha melarang peredaran sejumlah konten yang dipermasalahkan (termasuk namun tidak terbatas pada komik bergenre lolicon dan kekerasan) dan di sisi lain, “menjual” remaja sebagai produk ekspor dalam bentuk idol dalam program Cool Japan. Kali ini, PBB melalui lembaga Komite Pengentasan Kekerasan Terhadap Perempuan (UN Committee on the Elimination of Discrimination against Women, CEDAW) memicu kontroversi.
Dalam diskusi yang akan diselenggarakan pada 16 Februari di Jenewa, Swiss, CEDAW mengagendakan topik “pelarangan penjualan permainan atau kartun bertema kekerasan terhadap perempuan.” Agenda pertama yang sebenarnya bukan topik baru ini sontak mengobarkan kontroversi lagi.
Salah satu tokoh yang bersuara keras menentang CEDAW adalah Dan Kanemitsu. Bekerja sebagai konsultan dan penerjemah dalam berbagai anime, Kanemitsu melihat ada kesalahkaprahan dalam PBB.
“Kalau mereka memang mau menangani sikap sosial terhadap perempuan dibentuk di Jepang, bukankah penting untuk menangani keseluruhan pesan media yang dicekokkan melalui majalah, TV, dan lain-lain?”
Kanemitsu juga menggugat narasi tersebut, melihat bahwa “mustahil orang akan menyalahartikan karakter komik sebagai asli.”
Pendekatan budaya lain yang digugat Kanemitsu adalah bagaimana pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah. “Pemikiran berbahaya dan ekspresinya akan selalu menemukan cara untuk muncul ke permukaan. Jauh lebih baik mendidik orang untuk mendebat isu-isu penting, ketimbang berpura-pura bahwa menyensor budaya akan, entah bagaimana caranya, akan membuat masyarakat lebih beradab.”
Ekspresi kebebasan pendapat juga menjadi argumen penting karena “meski beberapa di antaranya tidak populer, seluruh bentuk komik fiksi adalah bentuk penyampaian pendapat seseorang, bukan mengajak atau pernyataan maupun fakta.”
Dalam penelitian Pesek, Jepang adalah salah satu negara maju (bersamaan dengan Korea Selatan) dengan ketimpangan proporsi antara pekerja pria dan wanita. Bagi wanita di Jepang, sulit untuk mencapai posisi yang tinggi dan bahkan di perusahaan besar Jepang, posisi CEO yang diisi perempuan dapat dihitung dengan jari.
Meski hal ini akan dibahas pula di Jenewa, Kanemitsu mengajak pembaca untuk kembali ke kenyataan.
“Kita perlu menangani kejahatan sungguhan dan masalah sosial sungguhan dengan menghadapinya di dunia nyata, bukan di dunia fiksi.”
KAORI Nusantara