Opini: Mengapa Saya Memilih Menonton Musaigen no Phantom World

2

Musaigen no Phantom World, dengan segala suka-dukanya, menjadi kontroversi bagi sebagian orang. Sepertinya tidak sulit menemukan artikel yang menghujat maupun yang membela anime ini, bagaimanapun pembenaran dan argumentasi yang dipergunakan.

Namun ketimbang terjebak dalam riuh rendahnya wacana tersebut, ada satu hal yang membuat saya begitu senang menonton Musaigen no Phantom World: narasi yang disajikan.

Bagi saya, waktu adalah hal yang sangat berharga. Tidak semua orang memiliki kenikmatan untuk goler dan beristirahat seharian sembari menonton anime sehingga lazimnya, jumlah anime yang diikuti seharusnya semakin berkurang dari minggu ke minggu. Tetapi berkebalikan dengan banyak orang, saya justru memulai setiap musim dengan dua-tiga judul dan kemudian menambah jumlah tontonan. Musaigen no Phantom World (Myriad Colours: Phantom World) adalah salah satu dari judul tambahan.

Narasi adalah suatu cerita yang terkait secara berurutan. Dalam narasi tersebut, tidak menjadi masalah apakah sebuah narasi merupakan nyata maupun fiksi sehingga mengaudit narasi bukanlah mengaudit sebuah premis benar atau salah. Begitu pula narasi yang disajikan tersebut, secara konten tidak dapat di-“judge” bagaimanapun hasilnya.

Saya pribadi memutuskan menonton Phantom World sampai akhir setelah melihat episode keempat. Episode ini mengisahkan Reina Izumi yang terjebak dalam sebuah phantom yang mewujudkan keinginan ideal dari Reina sendiri. Reina yang berharap memiliki keluarga ideal kemudian divisualisasikan dalam episode keempat dengan sangat indah. Bagaimana narasi keluarga yang ideal, begitu pula pergulatan batin ketika Reina menyadari narasi tersebut adalah fiktif belaka, disajikan dengan indah dalam anime ini. Reina dan Haruhiko seolah dibawa ke dalam dunia lain yang terlepas dari narasi besar Phantom World sebagaimana tiga episode sebelumnya.

Laurel Richardson menyampaikan bahwa narasi personal, termasuk narasi yang diberikan oleh Reina, tidak muncul dari ketiadaan namun dibangun dari narasi-narasi yang sudah ada sebelumnya. Kemudian, narasi yang dibangun tersebut nantinya akan beresonansi dengan penontonnya. Secara sederhana, tiga elemen narasi (karakter, aksi sang karakter, dan plot (kejadian yang tersambung secara kronologis)) tersebut harus beresonansi dengan ingatan kolektif sang audiens (di sini, berarti penonton Phantom World.)

Dalam episode-episode lain, narasi yang disampaikan oleh Phantom World sebenarnya beresonansi dengan narasi-narasi sederhana yang ada di diri setiap orang. Topik dalam episode empat misalnya membahas mengenai “saya dan orang tua”, kemudian pada episode 5, “saya dan masa lalu saya”, dan pada episode enam, “saya dan kepercayaan diri.” Semua episode di Phantom World berputar di sekitar cerita yang dekat dengan audiensnya. Bahwa premis Phantom yang merupakan jelmaan makhluk halus yang “menembus sekat pembatas” yang ghaib dengan yang nyata, semua merefleksikan ingatan kolektif yang beredar di dalam masyarakat dalam seri anime tersebut.

Narasi Reina begitu mengena dalam diri saya karena narasi personal ini mendekatkan Reina dengan masa lalu saya. Narasi Reina adalah narasi distopian dan dunia tempat Reina masuk adalah dunia utopia yang fana dan merupakan hasil tipu daya dari sebuah Phantom. Karena resonansinya yang begitu tinggi dengan apa yang saya alami, saya bereaksi lebih lanjut dari sekadar “oh kasihan Reina” menjadi sajian emosional yang lain (seperti menangis, misalnya.) Resonansi ini pula yang menyebabkan ada orang yang menangis ketika menonton Clannad namun ada pula yang tidak begitu peduli, bahkan menganggap menangis karena Clannad adalah ekspresi yang berlebihan. Bukan berarti Phantom World hanya bagus di episode keempat; namun apa yang saya sampaikan adalah bagaimana setiap episode-episodenya menawarkan narasi dengan eksekusinya yang indah dan bisa beresonansi dengan penontonnya; meninggalkan kesan sebagaimana aftertaste setelah mengonsumsi sebuah makanan atau minuman.

Tetapi sebagaimana narasi itu tidak perlu sesuai maupun mendekati kenyataan, lantas apakah penting bila narasi yang disajikan itu, sebut saja, sesuai dengan narasi awal yang disajikan oleh karyanya diadaptasi? Apakah penting ketika narasi yang dibangun dengan indah itu lantas dikatakan bukan narasi yang baik karena kejadian yang tersambung secara kronologis (baca: plot) itu tidak sama dengan apa yang dituliskan pada novelnya?

Apakah setelah Fragments: Memories of a Wartime Childhood kemudian diketahui bukan sebuah narasi dari seorang korban Holocaust secara spesifik dan 100% fiktif, kemudian narasi dalam Fragments berhenti menjadi sesuatu yang indah dalam eksekusinya? Apakah ketika narasi kesuksesan seorang Mbah Surip kemudian diketahui jelas-jelas bohong, ngawur, dan tidak realistis, lantas seseorang tidak bisa enjoy membaca narasi kesuksesannya, atau menemukan suatu manfaat dari membacanya?

Saya yakin bahwa bagaimanapun perdebatan mengenai isi dan eksekusi Phantom World boleh menghangat, anime ini menarik untuk ditonton karena narasi yang ditawarkannya. Narasi yang dalam setiap episode, beresonansi dengan penontonnya, tidak peduli apakah adaptasinya tidak sesuai dengan aslinya atau apakah anime ini dipandang lebih rendah dari karya-karya Kyoto Animation yang lain.

Oleh Kevin W | penulis saat ini sedang menyiapkan penelitian mengenai narasi konsumsi dan produksi otaku dalam seri anime Saenai Heroine no Sodatekata.

2 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses