Adalah mudah untuk berpendapat bahwa anime zaman dulu lebih baik dari zaman sekarang. Berbagai alasan dikemukakan untuk mengatakan bahwa anime sekarang telah mengalami kemunduran dari masa-masa sebelumnya, mulai dari tidak ada cerita/plotnya, telalu banyak fanservice, waifu pandering/fujobait, berorientasi pada penjualan merchandise, hanya meniru dari yang sudah ada, dan lain-lainnya. Sebagai seseorang yang telah mengenal anime sejak Dragon Ball dan Sailor Moon pertama kali tayang di Indonesia di era 90-an, melihat sikap yang mengagung-agungkan anime lama dengan merendahkan anime-anime yang lebih baru itu justru membuat saya dongkol.
Tanggapan paling sederhana pada pandangan seperti itu adalah dengan mengangkat bahwa tiap zaman memiliki karya hebat dan jeleknya masing-masing. Melihat daftar anime terbaik tahunan KAORI, dapat ditemukan bahwa anime-anime terkini cukup beragam dan dapat menawarkan pengalaman menonton yang variatif, jika memang mau mencarinya dan tidak hanya memfokuskan pandangan pada anime-anime fanservice. Mulai dari yang mengangkat tema olah raga (Yowamushi Pedal), drama sekolah (Sound! Euphonium), drama kantoran (Shirobako), petualangan dan aksi (Jojo’s Bizarre Adventure, One Punch Man), horor (Kagewani) hingga bahkan kritik sosial (Gatchaman Crowds).
Sementara mengenai anime zaman dulu, Justin Sevakis dari Anime News Network pernah mengasuh kolom Buried Garbage yang khusus membahas anime-anime jelek dari zaman 80-an dan 90-an. Anime-anime seperti Garzey’s Wing, M.D. Geist, Harmageddon, atau Idol Fighter Su-Chi-Pai diserangnya karena cerita yang nggak nyambung atau tidak jelas, setting yang klise, konten eksploitatif dan ofensif, dialog yang konyol, hingga karakterisasi yang terlalu datar. Memang anime-anime yang dibahas oleh Sevakis kebanyakan adalah OVA. Namun dari situ saya jadi tersadar juga bahwa dunia anime 90-an itu lebih luas dari tontonan-tontonan yang dulu saya kenal dan terkenang melalui TV atau VCD.
Yakin anime zaman dulu lebih baik dari zaman sekarang? (Kiri: Butt Attack Punisher Girl Gautaman (1994). Kanan: Wolf Children (2012))
Tanggapan lainnya bisa juga dengan menunjukkan bahwa anime zaman dulu tidak bebas juga dari hal-hal yang dikeluhkan terhadap anime zaman sekarang. Fanservice yang vulgar bisa ditemukan bahkan dalam anime mainstream seperti Dragon Ball sekalipun (apakah sejak dulu Dragon Ball bisa lolos tayang di Indonesia karena disensor?). Dalam hal merchandising, bukankah sejak dulu ada anime-anime seperti Gundam atau Minky Momo yang dibuat karena Bandai ingin menjual mainan (baik itu robot-robotan plastik atau tongkat sihir plastik)?
“…fanservice a time honored element” -Jeff Chuang (Kiri: Dragon Ball (1986-1989). Kanan: Musaigen no Phantom World (2016))
“Peniruan” juga bukan sesuatu yang baru. Popularitas anime voli Attack No. 1 di tahun 60-an diikuti oleh kemunculan anime olah raga shōjo yang serupa, baik yang sama-sama bertema voli atau olah raga lainnya. Kolom Sevakis menunjukkan bahwa setting pasca musnahnya peradaban a la Mad Max atau Fist of the North Star sempat ngetren pada OVA produksi 80-an dan 90-an. Sementara Evangelion yang dianggap sebagai anime yang “beda banget” di masa 90-an itu, banyak mengambil unsur dari berbagai karya terdahulu seperti Ultraman, Ideon, Devilman, dan lain-lainnya.
Namun jika ditelusuri lebih lanjut, mungkin yang menjadi masalah sebenarnya bukan soal ada tidaknya anime bagus dan jelek di setiap masa, tapi standar kualitas yang dimaknai terlalu sempit dan ketidakpahaman mengenai apa yang dapat diharapkan dari anime zaman sekarang. Apakah beberapa hal yang dikeluhkan mengenai anime zaman sekarang memang merupakan hal yang buruk? Apakah fokus yang lebih menitikberatkan karakter dibandingkan plot merupakan hal yang buruk atau penilaian itu sesuatu yang subyektif, berasal dari preferensi untuk jenis cerita tertentu? Tanpa disadari telah ada pemaksakan penilaian berdasarkan standar pengukuran yang tidak sesuai dengan apa yang dinilainya. Tak ubahnya seperti mengukur tinggi badan dengan satuan derajat Celsius. Sementara seperti ditunjukkan oleh Evangelion, meniru dari yang sudah ada tidak selalu buruk, asalkan tahu bagaimana unsur-unsur yang ditiru dapat dimainkan dengan menarik.
Di sini diperlukan perspektif yang lebih komprehensif untuk memahami perubahan dan perkembangan anime dari masa ke masa. Dan perluasan perspektif itu tidak bisa didapat dengan hanya memperdebatkan zaman mana yang lebih baik atau lebih buruk. Baik penggemar generasi lama maupun generasi baru sama-sama bisa menilai buruk anime dari zaman yang berbeda dengan standar penilaian kelompok masing-masing, misalnya penggemar yang lebih muda tidak senang dengan style gambar anime lama yang terlalu “kuno”. Suka atau tidak suka dengan hal-hal itu memang bergantung pada standar diri masing-masing. Namun jika setiap pihak menggunakan standar masing-masing untuk mengklaim secara umum bahwa satu era lebih baik dari yang lain, itu hanya menghasilkan debat kusir. Wacananya dangkal dan tidak membuka wawasan.
Bagi penonton yang ingin mendapatkan pencerahan bisa mencoba membaca tulisan-tulisan Eiji Ōtsuka, Hiroki Azuma, Thomas Lamarre, atau Marc Steinberg, misalnya. Dengan mengkaji diskursus-diskursus mereka secara cermat, bisa terlihat gambaran mengapa anime zaman sekarang menitikberatkan fokusnya pada karakter, serta bagaimana fokus tersebut merupakan hasil perkembangan dalam produksi dan penerimaan anime selama berpuluh-puluh tahun. Atau ambillah buku The Moe Manifesto dan lihat bagaimana pendapat-pendapat dari Kimio Itō, Gō Itō, atau Mitsuru Sōda dapat membantu memahami mengapa elemen-elemen feminin, lembut dan bahkan imut bisa masuk dalam manga dan anime untuk pemirsa lelaki, sehingga kita bisa menemui karya-karya seperti K-On! dan semacamnya.
Ada banyak hal yang menarik untuk dipelajari dari perkembangan anime selama ini jika rasa ingin tahu dan kemauan untuk belajar lebih dikedepankan dibandingkan gengsi antar generasi. Dengan memiliki perspektif yang lebih luas dan menyeluruh mengenai bagaimana dan mengapa anime berkembang seperti itu dari masa ke masa, mungkin kita bisa lebih memahami mengapa di tiap masa tetap ada anime-anime yang mampu meninggalkan kesan dan makna yang kuat bagi penggemar dari tiap generasi, dan menghindarkan perseteruan yang tidak perlu di antara penggemar.

Bandingkan tiga ilustrasi yang digunakan dalam artikel ini. Gambar perbandingan dulu vs sekarang seperti ini hanya bisa menampilkan informasi dalam jumlah terbatas, sehingga gambaran utuh tiap-tiap zaman menjadi tersembunyi. Dengan seleksi yang bias, seorang pembuat gambar seperti ini bisa memutar-mutar kesan mengenai anime dari tiap-tiap zaman. Entah itu zaman dulu lebih baik dari sekarang; zaman dulu lebih buruk dari sekarang; zaman dulu dan sekarang sama buruknya; zaman dulu dan sekarang sama baiknya; atau hanya secara netral menunjukkan tema-tema dan unsur-unsur yang sama-sama ada dari dulu sampai sekarang, seperti gambar dua anime shonen dan dua anime magical girl yang satu ini. (Kiri: Dragon Ball (1986-1989) dan Sailor Moon (1992-1997). Kanan: My Hero Academia (2016) dan Go! Princess Precure (2015))
KAORI Newsline | Oleh Halimun Muhammad
Artikel ini adalah pendapat dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
The Real Mandang Grafik.Tapi Kalau Jalan Cerita Mana Lagi Seru??