Popularitas karakter “trap” menjadi menarik, karena dengan demikian ia menyebarkan narasi fantasi yang bermain-main dengan peran gender yang tidak stabil, melalui sosok “trap” yang dengan amannya hanya berada di alam khayalan. Ini memang bukan narasi “progresif” yang mendorong perubahan di masyarakat, tapi ia menunjukkan adanya tanggapan terhadap situasi terkini di mana gagasan mengenai identitas dan perilaku gender menjadi lebih luwes.

Masalah muncul ketika orang lupa bahwa “permainan” mereka hanyalah “fantasi” belaka. Mampu dengan tegas memisahkan alam fantasi dengan kenyataan mestinya adalah hal yang lumrah bagi otaku mana pun. Sebagaimana telah dibahas di blog ini sebelumnya, dalam anime Miss Kobayashi’s Dragon Maid, otaku lelaki dan perempuan yang datang ke maid café ikut bermain dalam situasi yang sering disebut sebagai “junsui na fantajii” (fantasi murni). Melanggar aturan main dalam situasi ini berakibat pada pengucilan dari komunitas itu. Dalam riset etnografis yang dilakukan oleh Patrick Galbraith, ia mengamati bagaimana seorang pengunjung maid café bernama Neko dikucilkan oleh komunitas maid café tersebut karena menanyakan nomor telepon salah satu maid di situ.

Jika seorang otaku tidak bisa memperlakukan ruang maid café sebagai ranah fantasi yang terpisah dari dunia nyata, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi masalah bagi masyarakat. Keberadaan otaku, dengan segala kemaniakannya pada hal-hal yang “tabu,” bisa bertahan tanpa mengganggu masyarakat karena mereka menjaga kemaniakannya dalam batasan hanya dengan karakter fiksi, tidak mencampurnya dengan dunia nyata. Karena itulah obsesi lolicon tidak ada korelasinya dengan pedofilia yang sebenarnya. Kalau seorang penggemar “trap” dengan sembarangan menyebut orang trans di dunia nyata sebagai “trap,” si penggemar itu patut dikritik karena gagal menjadi konsumen media yang bisa membedakan fiksi dan kenyataan. Sebagaimana pada kasus Neko di atas, mereka yang tidak bisa menjaga batasan antara fiksi dan kenyataan harus ditegur dengan tegas.

Saat ini, keluhan terhadap kelompok penggemar “trap” ada benarnya, bukan karena media yang mereka konsumsi dengan sendirinya “bermasalah,” tetapi lebih karena mereka tidak menunjukkan kepedulian kepada isu-isu nyata di balik fetis terhadap crossdressing yang dibalut dengan lawakan dan meme. Genre “trap” dapat berperan mengungkap kerancuan pada seksualitas penggemar genre tersebut. Yang menjadi masalah adalah, banyak penggemar yang tidak sadar bahwa perlu ada batasan bagi kemaniakan mereka, yang membuat mereka menjadi gangguan kepada komunitas trans. Kritik dari kalangan trans tetap perlu untuk mengingatkan bahwa genre “trap” hanyalah fantasi yang tidak merepresentasikan kaum trans di dunia nyata. Tapi yang lebih penting adalah menegur para penggemar yang gagal menjaga agar fantasi mereka tetap terpisah dari kehidupan nyata.

© Kenji Inoue / Enterbrain / Baka to Test to Shoukanjuu Production Committee

Penggemar genre “trap” terjebak mempertanyakan seksualitas diri mereka sendiri; mereka terjerat oleh pengaruh karakter terhadap diri mereka dan prinsip heteronormatif mereka. Situasi rancu itu dapat menjadi ruang bagi kehadiran suara-suara dari kaum trans. Tetapi sebelumnya kita harus tahu di mana garis batasnya berada: batasan yang memisahkan antara fantasi “trap” dengan narasi kaum trans yang sesungguhnya.

Catatan Tambahan

*) Setelah melalui riset dan diskusi lebih lanjut, saya menemukan bahwa minimnya catatan mengenai penggunaan istilah “trap” sebelum 4chan berkaitan dengan represi terhadap identitas trans pada saat itu. Selain adanya kekosongan bukti mengenai penggunaan “trap” sebelum 4chan, hal ini juga menunjukkan bahwa narasi dari kaum trans perlu diangkat sebagai alternatif dari narasi “trap” yang fungsi utamanya hanya sebagai hiburan.

Referensi

  • Butler, Judith. Gender trouble: Feminism and the subversion of identity (Routledge, 1990).
  • Galbraith, Patrick W. “Maid in Japan: ‘An Ethnographic Account of Alternative Intimacy’” dalam Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 25 (February 2011).
  • Napier, Susan J. Anime from Akira to Howl’s Moving Castle (New York: Palgrave, 2005).
  • Sontag, Susan. “Notes on camp,” dalam Camp: Queer aesthetics and the performing subject: A Reader (1964), hlm. 53-65.

Identitas Jender dan Seksualitas Karakter Dua Dimensi

Ditulis oleh JekoJeko dari Unnecessary Exclamation Mark! | Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Oxford | Diterjemahkan oleh Halimun Muhammad dari The Indonesian Anime Times | Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili kebijakan editorial KAORI | Artikel asli: https://unnecessaryexclamationmark.wordpress.com/2017/07/26/confusing-desire-the-trouble-with-traps/

2 KOMENTAR

  1. Kalo ane ngelihat trap lebih kearah crossdress daripada gay, gay lebih ke dorongan seksual yang “berbeda”, kalo trap pada umumnya dan mungkin kebanyakan “terjebak” pada penampilan, sifat dan efek (feminim). Misal ini https://vndb.org/v15653, awalnya geli tapi terkadang buat seru2an aja dan ternyata manis juga si trap wkwkw.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses