Moe sudah menjadi istilah yang akrab bagi penggemar anime, tidak hanya di Jepang, tapi juga di berbagai belahan dunia. Tapi pengertiannya seringkali diasumsikan begitu saja, sehingga mempersempit pemahaman mengenai moe hanya pada tipe-tipe karakter tertentu. Lihat saja misalnya, betapa seringnya kata “moefikasi” digunakan untuk menyebut antropomorfisme berbagai hal sebagai karakter bishoujo atau gadis cantik, seolah-olah hanya karakter cewek saja yang bisa moe.

Tapi menelaah penggunaan moe lebih lanjut dapat mengungkap perspektif-perspektif yang berbeda. Salah satu telaah menarik mengenai moe yang telah turut mengubah cara saya memahami moe adalah pengamatan Patrick Galbraith terhadap praktik moe-banashi (“perbincangan moe”) di kalangan fujoshi, atau perempuan yang menggemari boys love (BL) dan yaoi, yang menggambarkan tokoh-tokoh cowok dalam hubungan romantis dan/atau seksual. Saya telah merangkum temuan Galbraith dalam tulisan lain, tapi untuk mengingat kembali, yang dimaksud dengan moe-banashi adalah kegiatan fujoshi membahas hubungan kasih di antara tokoh-tokoh cowok untuk menimbulkan moe, yang di sini didefinisikan sebagai reaksi emosional yang meruah kepada tokoh fiksi.
Salah satu poin yang menarik bagi saya dari penggunaan moe yang diceritakan Galbraith itu adalah bukan hanya bahwa fujoshi bisa menemukan moe dari tokoh-tokoh cowok, tapi lebih lagi, dari membaca hubungan di antara tokoh-tokoh itu. Ini adalah sisi yang menarik sebagai alternatif dari pandangan yang memahami moe sebagai jenis karakter tertentu. Kalangan fujoshi sangat memperhatikan pola interaksi dan situasi di antara tokoh-tokoh. Karena itulah, bukan cuma soal karakter mana saja yang pantas untuk dipasangkan, tapi juga siapa yang berperan sebagai seme dan uke dalam pasangan tersebut bisa menjadi bahan perbincangan yang hangat bagi fujoshi. Bisa dikatakan, kombinasi pasangan tokoh yang berbeda, serta cara-cara berbeda untuk mengombinasikan pasangan itu berpotensi menghasilkan dinamika interaksi yang berbeda-beda, dan dari situ memicu reaksi moe yang berbeda-beda juga.

Dari pembahasan tersebut, mungkin timbul kesan bahwa ada perbedaan antara otaku cowok dan fujoshi soal moe, bahwa otaku merasakan moe dari individu tokoh sementara fujoshi merasakan moe dari hubungan antar tokoh (atau hal-hal yang dibayangkan sebagai tokoh). Tamaki Saito (2007) juga mengungkit hal tersebut sebagai asimetri yang mendasar antara hasrat otaku cowok terhadap tokoh bishoujo dengan hasrat penggemar yaoi terhadap hubungan di antara tokoh-tokoh cowok. Pengamatan seperti itu terasa ada benarnya juga, jika kita amati bagaimana penggemar tokoh-tokoh bishoujo senang berargumen siapa tokoh “waifu” terbaik atau menggunakan tagar dukungan seperti #TeamRem atau #TeamEmilia. Kesannya penggemar bishoujo memang lebih peduli pada tokoh cewek bishoujo yang mereka gemari dibandingkan memikirkan tokoh mana yang lebih sesuai untuk saling dipasangkan dan bagaimana memasangkannya sebagaimana dilakukan oleh fujoshi dengan formula-formula seme x uke mereka.

Tapi saya hendak menghindari pemikiran bahwa asimetri itu adalah hal yang intrinsik. Galbraith sendiri (2009) berpendapat bahwa perbedaan itu memudar seiring dengan digemarinya cerita-cerita nichijou-kei di kalangan otaku moe. Dengan menampilkan hubungan akrab antara sekelompok tokoh cewek dan menghindari keberadaan tokoh cowok, cerita-cerita nichijou-kei agak-agak mirip dengan kebiasaan cerita-cerita BL untuk fokus pada hubungan di antara tokoh-tokoh ceweknya dan menghindari keberadaan tokoh cewek. Tapi saya hendak mengangkat satu contoh lain yang nampaknya potensial sebagai titik temu dalam memicu moe bagi penggemar cowok dan cewek melalui hubungan antar tokohnya: Oneshota.
Oneshota yang menggabungkan kata onee-san dan shota, merujuk kepada penggambaran hubungan-hubungan akrab antara tokoh bocah cowok yang imut (shota) dengan tokoh perempuan yang lebih tua (onee-san). Dari situ, saya pikir oneshota menunjukkan bukan hanya moe pada satu tokoh saja, tapi lebih kepada hubungan yang terbentuk di antara dua tipe tokoh tertentu. Dengan kata lain, bukan cuma tokoh shota atau cuma tokoh onee-san saja, tapi melihat mereka bersama-sama lah yang menimbulkan moe. Dan menurut pengarang komik Watashi no Shounen, Hitomi Takano, walaupun oneshota sebenarnya “ditujukan untuk lelaki,” (2018) tetapi hal tersebut sebenarnya menarik minat dari kalangan perempuan juga. Sejumlah artikel rekomendasi komik oneshota yang dapat ditemukan di internet pun turut menuturkan demikian. Dalam batas tertentu, ternyata kombinasi oneshota bisa mengusik asumsi yang membedakan apa yang disukai cowok dan disukai cewek.

Selain hal itu, mungkin ada contoh-contoh lain yang bisa mempertemukan penggemar perempuan dan lelaki melalui moe kepada hubungan antar tokoh, misalnya dari adanya lelaki, baik yang heteroseksual maupun gay, yang juga gemar membaca BL. Tapi ringkasnya, moe kepada hubungan antar tokoh adalah satu sisi lain yang menarik dari moe yang, kita sadari atau tidak, mungkin sebenarnya telah menyebar di kalangan penggemar dari berbagai golongan, dan bisa ditelaah lebih lanjut dalam membahas moe.
Referensi
- Galbraith, Patrick W. (2009), “Moe: Exploring Virtual Potential in Post-Millennial Japan,” dalam Electronic Journal of Contemporary Japanese Studies.
- Galbraith, Patrick W. (2011), “Fujoshi: Fantasy Play and Transgressive Intimacy among “Rotten Girls” in Contemporary Japan,” dalam Signs, Vol. 37, No. 1, pp. 211-232.
- Saito, Tamaki (2007), “Otaku Sexuality,” (terjemahan oleh by Christopher Bolton) dalam Christopher Bolton (ed.), Robot Ghosts and Wired Dreams (Minneapolis: University of Minnesota Press).
- Takano, Hitomi (2018), Kata Penutup dalam My Boy, Vol. 1 (terjemahan oleh Kumar Sivasubramanian) (New York: Vertical).
Ditulis oleh Halimun M | Penulis telah menjadi penikmat anime selama 10 tahun sambil berguru dari buku dan jurnal.