Tentang Konten Problematik

Memperhatikan konteks lingkungan media yang membentuk cerita-cerita isekai kekinian juga bisa membantu memahami konten-konten problematik yang sering muncul, misalnya, berkaitan dengan penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam cerita sebagaimana yang menjadi salah satu isu yang dibahas dalam panel di CF. Kebetulan, bagian keempat dari rangkaian video isekai di kanal Pause and Select rencananya akan membahas mengenai penggambaran tokoh perempuan dalam cerita isekai, walau sayangnya sampai artikel ini ditulis video tersebut masih belum selesai dan dimuat. Tetapi setidaknya ada beberapa komentar Joe mengenai isu perbudakan dalam cerita-cerita isekai yang bisa dibahas di sini.
Secara umum, Joe mengatakan maraknya plot perbudakan itu tidak bisa dijelaskan hanya oleh satu faktor saja. Tetapi ia menaruh fokus pada faktor video game yang jarang diangkat dalam bahasan mengenai isu ini. Dalam single player RPG yang banyak mempengaruhi cerita isekai, anggota-anggota party bisa dibilang tidak sungguh-sungguh memiliki agency atau kehendaknya sendiri. Mereka adalah unit dalam game dengan kemampuan khasnya masing-masing untuk membentuk tim yang dibutuhkan oleh pemain untuk melawan musuh. Mereka bergabung atau meninggalkan party hanya mengikuti keinginan atau kebutuhan komposisi party si pemain, atau karena tuntutan plot dari game-nya.
Seperti disebutkan sebelumnya, banyak cerita isekai yang marak saat ini pada dasarnya seperti cerita RPG tanpa game-nya, dan tokoh-tokohnya didesain terutama untuk mengisi komposisi tim tokoh utamanya. Tetapi karena hal ini berlangsung dalam medium non-interaktif di mana tidak ada input dari pemain seperti dalam game, maka menjadikan tokoh-tokoh pendukung sebagai budak menjadi plot device yang gampang untuk menceritakan tokoh-tokoh ini menjadi anggota tim si tokoh utama tanpa harus repot-repot membuat backstory dan karakterisasi yang mendetil untuk menjelaskan mengapa mereka bergabung dengan si tokoh utama.
Joe sendiri menganggap Konosuba sebagai salah satu judul yang lebih kreatif dalam menjustifikasikan pembentukan party-nya. Walaupun pada dasarnya mengikuti logika yang sama dengan game, namun sebagai alternatif dari penggunaan plot device perbudakan sebagai jalan pintas alasan untuk mengumpulkan mereka dalam satu tim, Konosuba membuat tokoh-tokohnya memiliki sifat nyeleneh yang membuat mereka tidak bisa diterima dalam tim-tim lain sehingga hanya bisa berkumpul bersama orang-orang buangan lainnya seperti diri mereka sendiri (Konosuba banyak memanfaatkan situasi ini untuk komedi).

Memahami kondisi ini bukan berarti bermaksud mengatakan hal tersebut tidak problematik. Tetapi mengartikan perbudakan dalam fiksi-fiksi ini sebagaimana perbudakan dalam dunia nyata jadi meleset dari apa yang sebenarnya problematik, karena fungsi hal tersebut bukanlah untuk merepresentasikan pendapat si pengarang mengenai perbudakan di dunia nyata. Yang sebenarnya problematik adalah perbudakan sebagai plot device ini menunjukkan perlakuan kepada tokoh hanya sebagai alat bercerita, tidak lebih sebagaimana unit dalam game yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam game.
Dalam video lain Pause and Select mengenai anime bertema bencana, sempat dibahas bahwa generasi muda Jepang pada tahun 80-an bisa menikmati cerita-cerita tentang bencana dan kehancuran seperti film Akira murni sebagai fiksi karena Jepang saat itu sedang makmur-makmurnya dan dalam waktu yang cukup lama tidak mengalami bencana-bencana besar (sampai akhirnya dipatahkan oleh meletusnya ekonomi bubble, Gempa Besar Hanshin, dan serangan teror Aum Shinrikyo). Mengikuti pola itu, lebih masuk akal jika dipikirkan bahwa para pengarang dengan santainya menggunakan perbudakan sebagai plot device justru karena perbudakan yang nyata merupakan hal yang asing dari kehidupan sehari-hari mereka.
Selanjutnya, saya tidak setuju dengan anjuran panelis pada kalangan pengarang untuk tidak lagi membuat cerita-cerita yang mengandung unsur problematik. Anjuran seperti ini mengasumsikan hubungan deterministik antara konsumsi media dan kekerasan yang sebenarnya diragukan korelasinya. Dan lagi, menghilangkan konten “problematik” menutup kemungkinan alternatif pembacaan konten tersebut yang lebih bertanggung jawab atas reaksi emosional yang dirasakan dari konten tersebut, misalnya sebagaimana pengalaman pengamat manga dan anime Gō Sasakibara memainkan game erotis (Galbraith, 2017)4. Dari situasi-situasi dalam game-game tersebut di mana dia sebagai pemain mesti membuat pilihan yang menyakiti salah satu tokoh perempuan dalam game itu, Sasakibara justru menjadi lebih menyadari dan memahami konsekuensi dari kekerasan, serta pentingnya mengendalikan diri untuk menjauhi kekerasan. Memang reaksi tersebut bisa muncul karena karakterisasi tokoh game yang dimainkan Sasakibara dibuat dengan mendalam sehingga ia merasa peduli pada mereka sampai merasa bersalah jika menyakiti mereka, namun itu semakin menunjukkan bahwa adanya tokoh yang melakukan hal problematik saja tidak otomatis menjadikan suatu media memiliki konsekuensi yang buruk, namun ada faktor-faktor lain yang mesti ikut dianalisis juga.
Berkenaan dengan isekai, seri video isekai ketiga di Pause and Select turut membahas bagaimana cerita-cerita isekai yang tokoh utamanya terdesak oleh situasi untuk melakukan hal-hal keji agar bisa bertahan hidup di dunia lain memiliki kemiripan dengan pola narasi sabaibu-kei (survival) yang sempat cukup populer di tahun 2000-an5. Cerita sabaibu-kei seperti Battle Royale atau Future Diary (Mirai Nikki) dicirikan oleh tokoh-tokohnya disertakan dalam permainan hidup atau mati yang aturannya mendesak para pemain untuk berbuat keji pada pemain lain, sehingga untuk bertahan hidup pemain mesti bisa memanfaatkan aturan yang ada. Apa yang membuat narasi sabaibu-kei sendiri menarik dianalisis adalah bagaimana tokoh cerita seperti ini mesti berhadapan dengan konsekuensi moral yang tidak mudah untuk ditanggung dari keputusan-keputusan yang dibuatnya dalam permainan itu. Dengan perbandingan ini, bukankah isu yang sama juga bisa didiskusikan dengan cerita-cerita isekai yang dimaksud, apalagi logika game juga merupakan unsur yang sangat erat dengan banyak cerita isekai terkini?

Singkat kata, simulasi kekerasan atau hal-hal yang bertentangan dengan moral dalam media fiksi tidak harus selalu diartikan melumrahkan hal-hal tersebut, namun justru bisa menjadi media untuk memikirkan dan berdialog dengan serius mengenai pertanyaan-pertanyaan moral mengenai kekerasan dan konsekuensinya. Karena itu, menggambarkan dunia yang ideal bukanlah satu-satunya fungsi fiksi. Cerita-cerita yang menampilkan tokoh-tokohnya melakukan hal-hal baik, dan cerita-cerita yang menampilkan tokoh-tokohnya melakukan hal-hal buruk, sama-sama memiliki tempatnya masing-masing (kalau tidak begitu, tidak akan ada yang mengapresiasi novel seperti Wuthering Heights).
Penutup
Pada akhirnya, melihat topik isekai dibahas di publik dalam acara CF 14 seharusnya menjadi pengingat bahwa sebenarnya masih banyak gap dalam pemahaman mengenai isekai. Fenomena ini seperti gunung es di mana apa yang banyak terlihat sebenarnya hanya sebagian kecil saja, sementara di balik permukaan masih banyak hal yang luput dari pembahasan, entah karena karya-karya yang banyak dikenal hanya yang sudah jadi anime saja, atau karena ada konteks-konteks tertentu yang tidak dialami oleh audiens luar, atau karena tidak ada yang tertarik mencari tahu sudut pandang pengarangnya. Banyak komentar atau opini mengenai isekai mungkin dapat ditemukan di internet, namun hanya sedikit yang benar-benar punya komitmen untuk mengeksplorasi lebih dalam apa yang sebenarnya berlangsung di balik permukaan tanpa terjebak asumsi-asumsi sendiri yang belum tentu sesuai. Usaha-usaha untuk mengangkat sisi-sisi yang diabaikan dalam perbincangan umum seperti yang dilakukan kanal Pause and Select perlu lebih mendapat apresiasi untuk mengembangkan dialog yang lebih produktif demi mencapai pemahaman yang lebih utuh.
Catatan Tambahan:
1 Walaupun sumber-sumber itu pun tidak selalu diperhatikan oleh mereka yang mengomentari topik-topik itu. Lihat saja misalnya video Gigguk tentang sejarah moe yang referensinya kelihatan masih banyak bolongnya.
2 Menurut penulis anonim yang diwawancarai Joe, kritik mengenai akurasi sejarah seperti ini di kalangan penulis sering disebut sebagai “polisi kentang”, karena salah satu kritik yang cukup dikenal adalah mempermasalahkan fiksi-fiksi historis yang menampilkan budidaya kentang di tempat dan zaman di mana hal tersebut sebenarnya belum dikenal.
3 Menurut pengakuan seorang editor perusahaan penerbitan, repotnya ketika ada perusahaan penerbitan yang ingin menerbitkan web novel yang sudah populer ke bentuk cetak adalah novelnya mesti ditulis ulang untuk memenuhi standar penerbitan. Namun si pengarang bisa jadi tidak pandai menulis sesuai dengan standar yang diinginkan sehingga akhirnya editornya lah yang menuliskan ulang.
4 Sebagai catatan, game erotis yang fokus pada kekerasan seksual diperkirakan sebenarnya hanya 10%-20% dari keseluruhan pasar game erotis (Galbraith, 2017).
5 Video tersebut juga membahas bagaimana cerita-cerita tersebut menjadi pembanding yang kontras terhadap cerita-cerita di mana tokoh utamanya memanfaatkan pengetahuan atau sumber daya modern dari dunia asal untuk meningkatkan taraf hidup penduduk dunia lain. Pola seperti itu sebenarnya bisa dibilang menyerupai narasi kolonial di mana kuasa atas masyarakat yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dibungkus dengan manis sebagai kebaikan pemimpin yang tercerahkan untuk membimbing masyarakat “primitif” menjadi masyarakat beradab.
Referensi Utama
- Seri Video A Thousand Isekai
- Anime Youtube has an Isekai Problem
- we need to stop paying lip service to syosetu
- My unedited rant on slavery in isekai
- Cruchyroll’s Isekai Video is a Start, But Needs Work
- Turns Out Laclau was right and Levi-Strauss was Wrong
- A Brief Exchange with Kanekiru Kogitsune
- Talking to Herō Tenki
- Another (very brief) discussion with Herō Tenki
- Talking to a Private Isekai Author
Referensi Tambahan
- Baseel, Casey, “Editor claims many of Japan’s light novel authors can’t write, aren’t the ones creating their books” dalam Japan Today (22 Februari 2018).
- Galbraith, Patrick, “Adult Computer Games and the Ethics of Imaginary Violence”, dalam U.S.-Japan Women’s Journal No. 52 (2017).
- Tanaka, Motoko, “Trends in Fiction in 2000s Japanese Pop Culture”, dalam electronic journal of contemporary japanese studies Vol 14, Issue 2 (2014).
- Pause and Select, “Understanding Disaster Part 2: Akira and the Postmodern Apocalypse”, (2017).
Ditulis oleh Halimun Muhammad | Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
artikel yang menarik. Saya paham sekali dengan apa yang dibahas. Semua contoh novel isekai yang disebutkan 90 persen sudah saya baca semua walaupun belum sampai akhir. Karena seperti novel pada umumnya, ada beberapa novel bagus di awal namun pertengahan kurang menarik sehingga pembaca berhenti di sana. Semua tergantung selera masing-masing pembaca untuk tetap meneruskan membaca seri isekai atau berhenti