Citra Populer dan Konstruksi Akihabara sebagai Obyek Wisata

2

akihabara

Dalam sebuah survei terhadap turis yang dilakukan JNTO (Japan National Tourism Organization; badan pariwisata Jepang) pada tahun 2006-2007, Akihabara (populer juga disebut sebagai Akiba) berada di urutan kelima belas untuk tujuan wisata paling direkomendasikan. Namun dalam survei yang sama, Akihabara juga berada di urutan kedelapan untuk tujuan wisata yang paling mengecewakan bagi turis. Mengapa bisa begitu? Melalui penelitian lapangan yang dilakukan oleh Patrick Galbraith di Akihabara, dapat dipelajari bagaimana citra populer Akiba membentuk persepsi terhadap daerah tersebut sebagai obyek wisata dalam benak turis dan pembuatan kebijakan; serta dampaknya terhadap tensi sosial dan perubahan pengelolaan daerah Akiba itu sendiri.

Untitled

Penggambaran toko-toko di Akihabara dalam suatu anime

Seiring dengan perubahan kondisi ekonomi dan sosial di Jepang pada dekade 1990-an, toko-toko yang menjual barang-barang yang berhubungan dengan anime, manga dan game mulai bermunculan di Akihabara yang sebelumnya merupakan pusat perbelanjaan perangkat elektronik (1). Di dekade 2000-an, “otaku” (dalam hal ini diartikan sebagai penggemar berat anime, manga dan game) mulai dikaitkan dengan budaya anime dan manga yang pasarnya sedang mengalami perkembangan. Seiring dengan tren tersebut, Akihabara pun mulai mendapatkan perhatian besar dari media, yang kemudian membangun citra Akihabara sebagai pusat dari budaya anime/manga, di mana otaku dapat dengan bebas menampilkan kegemaran mereka terhadap kartun. Budaya anime/manga dan otaku di Akihabara dikomodifikasikan sebagai obyek wisata yang unik dan menarik untuk ditonton oleh turis. Bagi cosplayer dan idola jalanan setempat, ekspos oleh media tersebut menjadi ajang untuk memperoleh ketenaran. Namun di sisi lain, otaku lainnya merasa risih dan terganggu dengan ekspos media di Akihabara dan berusaha menghindar dari tontonan publik.

Untitled

Penggambaran toko di Akihabara yang berhias ilustrasi karakter bishōjo dalam suatu anime

Pembuat kebijakan kemudian ikut tertarik untuk memanfaatkan citra Akihabara sebagai obyek wisata. Pembuat kebijakan berupaya untuk mengatur Akiba agar lebih sesuai dengan citra “cool Japan” dan lebih “ramah” bagi turis. Aksi cosplayer dan idola jalanan yang telah menarik perhatian media kemudian dilarang karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Gambar-gambar karakter cewek seksi atau komik-komik “lolicon” yang diperdagangkan oleh toko-toko dōjinshi dipermasalahkan karena dianggap tidak pantas untuk konsumsi publik. Polisi lebih rajin melakukan penggeledahan tas dan kantong untuk mencari barang yang dikutil dari toko setempat atau benda tajam (2), terutama setelah terjadinya kasus penusukan massal di Akihabara pada tahun 2008.

Untitled

Komentar mengenai penggeledahan polisi di Akiba dalam suatu anime

Di satu sisi, “otaku” menjadi bagian dari citra Akihabara sebagai “surga otaku” yang membuatnya terkenal dan diminati sebagai obyek wisata. Namun pada saat yang bersamaan, “otaku” di Akihabara juga dicurigai dan diperlakukan sebagai sumber masalah. Semakin ketatnya pengaturan terhadap “otaku” di Akihabara membuat “ciri otaku” dari Akiba seperti yang banyak ditampilkan dalam media justru menjadi tidak nampak. Dan para turis domestik dan mancanegara yang datang ke Akiba untuk melihat “otaku aseli Nippon”™ merasa kecewa karena apa yang mereka temukan di Akiba tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat di media.

Untitled

Komentar mengenai penggeledahan polisi di Akiba dalam suatu anime

Dari kajian tersebut, dapat dipelajari bahwa Akihabara bukanlah sebuah tempat statis yang tidak mengalami perubahan. Citra Akihabara yang terbentuk oleh ekspos media dalam benak pihak-pihak yang tertarik atau memiliki kepentingan dengan daerah tersebut telah menimbulkan tensi sosial dan perubahan dalam pengelolaan Akiba; yang ironisnya justru menjadi kesenjangan antara citra populer dengan kondisi nyata di Akiba. Bagi pembaca yang berminat untuk mengunjungi Akihabara, ingatlah bahwa di balik apa yang terlihat terdapat proses sosial dan politik yang berlangsung, dan apa yang dapat ditemukan di Akiba saat ini mungkin saja berbeda dari apa yang ditampilkan dalam media-media populer.

Untitled

Sumber: Galbraith, Patrick W. “Akihabara: Conditioning a Public “Otaku” Image.” Mechademia, Vol. 5, (2010), halaman 210-230.

Catatan tambahan:

(1) Pergeseran Akihabara dari pusat perbelanjaan barang elektronik menjadi pusat berkumpulnya toko-toko pernak-pernik anime/manga/game serta latar belakang sosial-ekonomi yang mendorong terjadinya hal tersebut merupakan topik kajian dari Profesor Ka’ichirō Morikawa dari School of Global Japanese Studies di Universitas Meiji. Penjelasan singkat teori Profesor Morikawa dapat dibaca dalam artikel yang disebutkan di atas, atau dalam wawancara dengan Profesor Morikawa dalam buku The Moe Manifesto.
(2) Sejumlah pengunjung memang datang ke Akihabara dengan membawa benda tajam kecil atau replika senjata. Hal tersebut dimaksudkan untuk menakut-nakuti pemalak yang menjadikan otaku yang berbelanja di Akihabara sebagai sasaran palak.

Sumber gambar: Joshiraku; Oreimo

KAORI Newsline | Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis.

2 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses