
Menonton anime sebenarnya seperti mengonsumsi hiburan lain: konsumsinya dilakukan untuk menghibur diri setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan atau sebelum memulai rutinitas menjemukan. Tidak ada bedanya dengan orang yang memainkan mobile game saat naik kereta setiap pagi atau mengecek BuzzFeed supaya tidak ketinggalan bahan obrolan dengan kolega di kantor.
Kecuali bagi orang yang menonton anime karena nawaitu’ (baik karena memang punya ambisi menamatkannya), biasanya menonton anime akan disesuaikan dengan selera. Dari mana menentukan apa yang dipilih untuk ditonton? Tentu harus mencari literatur yang sudah membahasnya terlebih dahulu. Mungkin membuka KAORI atau situs lain untuk mendapatkan infonya, bertanya kepada teman lain yang sudah menonton, atau modal nekat dan (kalau di Indonesia,) mengunduh episode perdana seri tersebut. Di sini, konsep tabula rasa tidak hanya berlaku pada bayi dan anak-anak tapi berlaku pada dengan siapa seseorang berteman untuk mendapatkan referensinya.
Itu berarti mungkin saja seseorang akan melewatkan kesempatan emas ketika memulai musim baru dan ia bertanya kepada handai taulannya, “Ranpo Kitan menurut loe bagus nggak sih?” dan dijawab singkat, “idih gore kaya begitu, gw sih nggak demen.” Atau bisa jadi ketika ditanya pendapat soal Infinite Stratos, temannya itu kebetulan menyenangi dan ikut “menjerumuskan” dia untuk membuang 13 x 20 menit waktunya di dunia.
Bukan berarti Ranpo Kitan lebih bagus dari Infinite Stratos (meski kalau mau dikaji kedalaman maknanya secara kualitatif sebenarnya sah-sah saja.) Perumpamaan di atas hanya potret kecil dari fenomena betapa pemilihan seseorang untuk menonton (dan kadang menilai anime) dilakukan hanya berdasarkan kata-kata teman dan yang agak mengerikan, bisa taklid mengecap sebuah anime jelek hanya berdasarkan membaca internet. Taklid-nya ini diteruskan ketika menemukan sebuah anime yang “menyimpan kejutan” dan sontak menuduh Gen Urobutchi sebagai sang aktor intelektual.
Kondisinya semakin diperparah dengan sejumlah media yang bias dalam menilai dan sedikit banyak terjadi di sekitar kita. Di KAORI sendiri, ada beberapa pengulas yang memang secara eksplisit menggunakan faktor “jalan cerita” untuk menilai bagus-tidaknya sebuah anime dan secara editorial KAORI memberikan kebebasan kepada para stafnya (asal nggak cancer-cancer amat ya.) Tetapi sekali lagi, hal ini baru benar-benar bisa dilakukan bila literasi informasi seseorang sudah cukup bagus.
Singkat kata, mengikuti kata-kata teman dan opini internet bisa menjadi panduan yang lurus, bisa membuka wawasan (sebagaimana saya mengenal Boku no Pico tujuh tahun silam), atau menjerumuskan (ikut menghujat berdasarkan kata teman.) Bagaimana mengatasinya?
Pada dasarnya cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan tidak mengikuti kata-kata teman saat menentukan pilihan. Ada beberapa cara yang bisa dicoba bila bingung memulai dari mana.

Yang pertama, dengan masuk ke dalam judul-judul anime yang jadi trending topic. Pada saat artikel ini ditulis, kebetulan Charlotte sedang populer. Maka tontonlah Charlotte, kalau bisa sampai tamat, dan jadikanlah impresi pertama setelah menonton itu sebagai pijakan untuk membaca dan menganalisis tulisan internet dan opini orang lain. Percaya tidak percaya, pasti akan ada saat di mana muncul pikiran, “eh ternyata tidak seheboh itu” atau “ah kayaknya biasa aja deh, kok heboh banget ya?”. Bila sudah muncul pertanyaan seperti ini, berarti sudah satu langkah untuk menjadi penonton yang kritis dan bijak.
Cara lain adalah masuk ke judul yang dianggap sangat jelek dan membuktikan sendiri apakah memang jelek atau itu malah “shit that’s good.” Beberapa waktu lalu saat di internal KAORI Newsline dilakukan gerakan pengentasan staf “kafir”, seluruh staf diwajibkan menonton anime. Saya memaksakan diri menonton Absolute Duo dan ternyata di tengah ketidakjelasan alur ceritanya, saya bisa enjoy dengan Absolute Duo. Saat artikel ini ditulis, saya mengikuti Kuusen Madoushi dan terlepas dari rating 1 (skala 10) dan komentar jelek di situs-situs lain, Kuusen Madoushi menyenangkan ditonton. Memang ceritanya tidak jelas dan tidak ada yang benar-benar menarik, tapi cukup untuk melepas penat. Namun tidak menafikan ada beberapa judul yang dengan penalaran bebas pun, tetap membingungkan untuk dicerna (mis. Mahou Sensou.)
Menariknya adalah terkadang opini internet tidak selalu berkolerasi dengan kenyataan dan tidak selalu menentukan nasib sebuah anime. Di antara staf Newsline ada yang sudah menonton Senkizesshou Symphogear dan terus menontonnya namun tidak mampu menjelaskan mengapa anime yang ceritanya benar-benar tidak jelas ini terus berlanjut dan bisa sampai musim ketiga. Tapi lupakan soal ceritanya, selama itu membuat terhibur, mengapa tidak? ANN membahas hal yang mirip-mirip seperti ini dalam kolom opini mengenai Prison School dan harus diakui, poin-poin yang disampaikan banyak yang bisa diterapkan juga ke dalam anime-anime lain.
Dalam pencarian selera di luar kata teman tersebut, terkadang seseorang bisa menemukan fakta menarik. Tim Newsline yang awal Juli lalu mengumpulkan 40 dari 47 anime yang tayang pada musim panas 2015 menemukan bahwa dari 40 judul tersebut, hanya 8-10 saja yang menjual atau menyajikan fanservice dalam komposisi utama. Ternyata mitos bahwa anime saat ini isinya melulu fanservice belaka adalah stereotip yang entah karena ada alasan apa, terus diungkit-ungkit di jagad internet dan kadang dijadikan dalih oleh seseorang untuk kepentingannya sendiri.
Bila sudah bisa keluar dari tempurung kata teman (dan tempurung-tempurung lain seperti sesuai wahana asli, harus cerita bermutu, harus punya gambar moe, nggak boleh ada unsur shonen-ai, dsb. dan mungkin akan dibahas lebih mendalam dalam kesempatan lain,) niscaya seseorang akan bisa menonton anime apapun dengan mudah dan lebih enjoy dalam menonton sebuah anime tanpa prasangka tertentu. Ya, termasuk saat menonton Toradora!
Artikel ini adalah pendapat dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.