Beberapa minggu ini sebagian masyarakat penggemar anime di Indonesia disibukkan dengan hadirnya film your name. (Kimi no Na Wa.) di beberapa jaringan bioskop Indonesia. Tetapi merefleksikan masyarakat Indonesia yang merupakan pecandu media sosial (Indonesia dianggap salah satu negara utama oleh Facebook, Twitter, Line, dan Path), kehadiran film ini tak lepas dari kontroversi.
Kontroversi membesar karena trailer pertama film yang dirilis distributor film ini di Indonesia penuh dengan kesalahan-kesalahan mendasar. Di internet sejumlah penggemar anime mempermasalahkan terjemahannya – dan mengirimkan film yang mereka terjemahkan sendiri langsung ke distributor, entah dari mana sumbernya -.
Tetapi di manakah masalah sebenarnya? Apakah reaksi tersebut adalah bentuk kepedulian terhadap film yang sudah seharusnya dinikmati dengan baik, ataukah sekadar bentuk aksi curi-curi perhatian belaka?
Trailer yang tidak dikerjakan dengan benar
Versi pertama trailer film your name. yang dirilis memang menyajikan sejumlah kesalahan mendasar. Pengerjaan teks bahasa Indonesianya dilakukan secara asal-asalan, tidak rapi, dan merupakan kesalahan anak SMA. Yang paling kontras tentunya adalah penggunaan kata “di”.
Calon penonton tentunya dibuat kecewa dengan trailer yang dikerjakan serampangan ini. Sebelum dirilis ke internet, kesalahan seperti ini tentu harusnya sudah diperbaiki. Tentu saja orang yang berada di pihak distributor sudah malang melintang di dunia film dan tidak mau tinggal diam. Kuncinya, di sini.
Salah satu sumber KAORI yang dekat dengan industri film menyebutkan bahwa berbeda dengan film-film lain pada umumnya, pihak penyalur film ini di Indonesia tidak memiliki kontrol atas teks yang diberikan. Ditegaskan pula, bila mereka memiliki wewenang penuh atas teks yang bermasalah, tentu mereka juga akan menghadirkan hasil yang berkualitas. Sudah berkali-kali masalah ini disampaikan (termasuk kesalahan di film Death Note) namun respon yang diberikan selalu bersifat template.
Noted, akan kami sampaikan ke pihak terkait untuk dilakukan perbaikan, demikian respon yang diterima.
Kemudian setelah ada yang menyajikan teks yang “telah diperbaiki”, rilislah trailer kedua film tersebut. Sejumlah komentar menyoroti masalah pemilihan kata di versi yang “telah diperbaiki” dan mengapresiasi versi yang “telah diperbaiki” tersebut, namun apakah benar yang “telah diperbaiki” ini lebih baik dari versi awal?
Masalahnya bukan soal Anak Tokyo
Selain masalah tata bahasa Indonesia yang tidak dikerjakan dengan baik, trailer pertama juga dinilai lebih mirip ke terjemahan bahasa Inggris ketimbang terjemahan langsung dari bahasa Jepang ke Indonesia. Secara khusus, bagian “tokyo no ikemen” disorot karena teks awal menghasilkan terjemahan “Tolong buat aku tampan. Anak Tokyo.” dan teks “yang telah diperbaiki” menerjemahkannya menjadi “pemuda Tokyo yang tampan.”
Berbeda dengan penerjemah tersumpah di bawah kitab suci dengan tarif ratusan ribu rupiah per lembar dokumen terjemahan, sebenarnya dalam dunia penerjemahan film ada seribu jalan menuju Manggarai. Penerjemahan “Tokyo no Ikemen” masih bisa didebat dan sebenarnya tidak ada satupun jalan yang benar-benar 100% lurus.
Konsep ikemen di Jepang bila diterjemahkan secara literal dan presisi memang akan pas diterjemahkan sebagai “pemuda Tokyo yang tampan.” Tetapi bahaya terbesar penerjemahan seperti ini adalah hilangnya makna dalam terjemahan (loss of meaning in translation). Makna “Tokyo no ikemen” yang sejatinya merefleksikan kehidupan metropolis remaja (dan mungkin milenial) di Tokyo menjadi hilang dan terganti dengan orang ganteng yang kebetulan naik KRL (kereta komuter) dan tinggal di Tokyo. Bila hilangnya makna dalam penerjemahan ingin ditekan sekecil mungkin, frase ini lebih cocok diterjemahkan sebagai “anak hitz Tokyo” sehingga penonton casual (baca: kaum metropolis yang menghabiskan akhir pekan di Kemang dan sekitarnya) memiliki bayangan langsung soal ini karena toh nongkrong-nongkrongnya Taki cs adalah hal yang juga dilakukan anak hitz di Jakarta. Penerjemahan seperti ini bisa diperdebatkan sampai menjadi satu skripsi lengkap mengenai kata ikemen dan tak akan ada habisnya.
Tetapi sayangnya, berbeda dengan menonton film pada anime bajakan (yang penuh dengan taburan teks footnote di atas dan samping layar video), penonton kasual tidak memiliki waktu dan mungkin tidak peduli dengan detail tersebut. Para pengulas film juga tidak memiliki waktu untuk mengulas “tokyo no ikemen” apalagi melakukan bedah komponen makna frase ini. Lebih baik membahas mengapa bisa tercipta lubang yang lebih besar di tengah-tengah desa di Jepang tengah (pun intended) ketimbang memperdebatkan masalah anak Tokyo.
Bila memperhatikan kembali faktor penonton yang ditargetkan (film ini dibuat dengan cerita dan pengembangan karakter yang mudah dicerna penonton film pada umumnya alih-alih penggemar berat idol tertentu, sebenarnya tidak jadi masalah besar apakah terjemahan yang dipakai pada akhirnya tidak 100% presisi dengan bahasa Jepang atau merupakan terjemahan langsung dari teks bahasa Inggris, selama makna yang hendak disampaikan tidak terlalu melenceng jauh atau tidak mengubah kalimat tersebut menjadi “bahasa Inggris yang diIndonesiakan” atau “bahasa Jepang yang diIndonesiakan.” Pendekatan ini juga dipakai dalam Japanese Film Festival beberapa minggu lalu, di mana nama-nama penyair yang belum tentu pemerhati budaya Jepang pun peduli tidak diterjemahkan, diganti dengan “biksu” saja atau “penulis” saja.
Memperhatikan kasus di atas, maka sepertinya sah-sah saja teks “Tokyo no Ikemen” itu diterjemahkan entah menjadi anak Tokyo tampan, pemuda Tokyo yang tampan, atau malah anak hitz Tokyo. Penonton hanya peduli Mitsuha berubah menjadi Taki yang hidup dan melakoni kehidupannya sebagai anak SMA yang tinggal di Tokyo.
Tak perlu berlebihan
Kembali ke masalah awal, penerjemahan yang baik memiliki beragam jalan dan cara yang disesuaikan pula dengan tujuan penerjemahan itu dilakukan.
Saat novel Bawuk karangan Umar Kayam diterjemahkan ke bahasa Jepang, tantangan sang penerjemah adalah menghadirkan konteks Bawuk dalam Indonesia zaman kolonial dan zaman Demokrasi Terpimpin dengan sentimen komunisme yang sangat asing bagi pembaca dalam bahasa Jepang. Sejumlah perubahan tak elak dilakukan, namun ketika dibaca dalam bahasa Jepang, orang Jepang yang tidak pernah belajar tentang Indonesia pun tidak akan kesulitan menangkap suasana hati sang Bawuk.
Tentu kita berharap film-film Jepang yang akan rilis di Indonesia selanjutnya melalui proses pengerjaan yang baik sehingga kesalahan-kesalahan mendasar bisa terhindarkan. Tapi setelah hal itu diperbaiki, soal terjemahan literal vs kontekstual, rigid vs liberal, biarkan hal itu jadi urusan ahli linguistik di kampus-kampus saja.
Oleh Kevin W | Penulis merupakan mantan staf salah satu fansub pertama di Indonesia dan telah menyelesaikan pendidikan S1 Sastra Jepang di Universitas Indonesia pada tahun 2016.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.