Opini: Saya Berhenti Memotret Kereta Karena Stasiun Kini Tidak Lagi Menyenangkan

1
Menemani railfans Jepang memotret kereta api di Indonesia. (Kevin W)

Saya menyukai dunia transportasi sejak tahun 2007. Itu berarti sudah 10 tahun sejak saya pertama memotret kereta api di stasiun Bogor. Kegiatan memotret bagi saya bukan kegiatan profesional sebagaimana para fotografer pre-wedding membawa alat tempurnya. Memotret bagi saya adalah hal yang dilakukan secara tiba-tiba, ketika sedang ingin, ketika ada momen-momen tertentu yang menarik diabadikan. Bagi saya, memotret kereta juga upaya saya untuk berdamai dengan diri sendiri, selain mengabadikan perubahan-perubahan cepat di dalam KRL Jabodetabek.

Sejak 2016, beredar rumor-rumor tidak sedap seputar orang yang memotret di stasiun, khususnya di stasiun-stasiun KRL Jabodetabek. Beragam surat pembaca dikirimkan dan beragam alasan inkonsisten dikemukakan untuk melegitimasi “pelarangan” mereka yang memotret kereta api di dalam stasiun. “Pelarangan” ini memang tidak diundangkan secara tertulis seperti SK Direksi yang khusus dibuat melarang orang bermain Pokemon GO di stasiun, namun di lapangan petugas itu sendiri yang membuat “pelarangan” tersebut.

Pada pertengahan Februari 2017, pihak PT KAI Commuter Jabodetabek melakukan penggantian vendor pengamanan. Dalam penggantian ini, secara tersirat ada semangat untuk membiarkan, bila operator enggan mengizinkan secara eksplisit, mereka yang memotret kasual di stasiun. Dua minggu berselang, janji awal ini tinggal janji karena toh nyatanya petugas lapangan tetap “melarang” memotret di stasiun. Andai tidak melarang, petugas PKD “mengintimidasi” dengan menanyakan administrasi yang membuat pemotret kasual pun kehilangan semangat melakukannya.

Contoh “intimidasi” halus.

Alasan Komersial Sampai Area Strategis

“Larangan” memotret tidak pernah dituliskan secara langsung, namun salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah kekhawatiran foto yang dihasilkan akan dipakai untuk kepentingan komersial. Hal ini masuk akal mengingat salah satu perusahaan besar pernah menggunakan footage di area milik kereta api di Surabaya untuk mengiklankan aplikasinya dan diduga video tersebut tidak diambil dengan izin yang benar. Selain itu, foto pre-wedding lazimnya memang dikenakan tarif.

Tetapi penetapan fungsi komersial tersebut dilihat semata karena pemotretnya menggunakan kamera DSLR atau tidak. Padahal harga baru kamera DSLR paling murah saat ini hanya sepertiga harga iPhone 7. Asumsi keliru ini mengakibatkan petugas mendatangi, bahkan setengah mengintimidasi pemotret dengan kamera DSLR dengan menanyakan “sudah izin humas belum?” dan “di sini dilarang motret mas”.

Alasan lain yang sering dikutip adalah kereta api adalah objek vital yang membutuhkan pengamanan khusus. Tetapi operator kereta api seolah melupakan bahwa area yang dimasuki penumpang (area 3) adalah wilayah publik yang dimasuki dengan sah karena ia membeli tiket, bukan instalasi militer atau pabrik yang memang restricted area. Pemotret seharusnya berhak untuk memotret kereta api sebagai bagian dari haknya sebagai seorang penumpang yang memiliki tiket.

Di tengah mandulnya divisi heritage kereta api dan lemahnya upaya dokumentasi resmi di Indonesia,, upaya swadaya seperti ini tak ternilai perannya dalam mengabadikan perkembangan perkeretaapian Indonesia.

Bukan Soal Tempat Memotret

Perdebatan larangan memotret menjadi topik berkala di forum-forum internet dan menjadi salah satu topik yang sukses memicu flame war di grup railfans. Sebagian menyarankan untuk tidak memotret di stasiun dan memotret di lintas kereta api. Tetapi masalahnya bukan ini.

Sejumlah momen yang saya abadikan adalah foto yang hanya bisa diambil di dalam stasiun. Bila saya memotret di stasiun Manggarai saat ini, tiga tahun kemudian foto tersebut akan menjadi arsip bernilai sejarah. Bila saya memotret satu rangkaian KRL saat ini, bisa saja dua minggu berikutnya ia mengalami kecelakaan dan terpaksa afkir permanen. Atau bila hendak mengabadikan teledornya Petugas Pengawalan Kereta (PPK) yang kadang bertindak seenaknya walau keselamatan penumpang yang menjadi taruhannya. Soal kasus ini, saya pernah dihardik oleh salah satu PPK karena memotretnya bertugas dan tidak menurunkan kedua kakinya dengan sempurna di stasiun Manggarai.

Bahkan ketika pergantian vendor pengamanan telah dilakukan, saya masih harus menjelaskan bahwa saya memotret untuk kepentingan pribadi. Teman railfans Jepang saya pun terpaksa menggunakan kelinglungannya sebagai wisatawan untuk memotret, meskipun nantinya foto-foto itu akan mereka unggah di blog mereka dan dibaca oleh orang Jepang, yang ironisnya justru lebih baik mendokumentasikan sejarah perkeretaapian kita dibandingkan orang kita sendiri.

KRL Ekonomi Djoko Lelono (KL3-78120), 19 November 2009. (Kevin W)

Membuat Orang Ikut Naik Kendaraan Umum

Sejumlah negara lain memang menerapkan larangan memotret, seperti di MRT Singapura. Tetapi Jepang, salah satu negara terbesar dalam bidang perkeretaapian tidak membatasi hal tersebut.

Keberadaan railfans sampai menghalangi penumpang memang dianggap mengganggu oleh penumpang kereta api di Jepang. Ada pula kasus railfans yang menghancurkan taman bunga demi memotret kereta idamannya. Tetapi dua hal tersebut adalah contoh ekstrem dan normalnya, memotret kereta api di Jepang secara kasual tidak membutuhkan izin, maupun laporan aneh-aneh.

Maka dengan intimidasi halus seperti itu, saya pribadi kini memilih memotret Transjakarta dan hampir berhenti memotret kereta api di dalam stasiun. Padahal justru kegiatan yang saya lakukan (memotret di stasiun/halte bus dan di dalam kereta api / Transjakarta) membantu teman-teman saya untuk beralih menggunakan transportasi umum.

Bukan hanya influencer Instagram atau artikel advertorial di media online-lah yang mampu merayu orang untuk naik transportasi umum. Potret dan situasi nyata tersebut, suka tidak suka, berdampak bagi orang awam untuk memberikan perhatiannya pada transportasi umum terlebih di tengah gencarnya gempuran industri otomotif saat ini.

Oleh Kevin W | Penulis telah menggunakan transportasi KRL sejak 2007 sejak zaman masih sering tidak membeli karcis, menggunakan abunemen KRL ekonomi AC, sampai membeli kartu multi trip di hari pertamanya dijual. Pengguna Transjakarta sejak bus Huanghai pertama beroperasi di koridor 5.

Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses