Menginjakkan kaki di tanah singgasana Eduard Douwes Dekker membawa kesan tersendiri. Tidak terlalu jauh dari pusat ibukota (Tanah Abang – Rangkas Bitung hanya sekitar 70-an kilometer) namun terasa begitu sulit disentuh.
Sampai beberapa hari lalu, hanya kereta api diesel yang melayani daerah ini dengan sejarah yang begitu panjang. Selain kereta diesel, praktis tidak ada angkutan umum lain yang langsung membawa mereka ke tanah Jakarta selain bus-bus ukuran medium – dengan transit di Tangerang atau Kalideres – dan angkutan plat hitam.


Pembangunan kereta api komuter ke tanah Rangkasbitung, kota kecamatan di wilayah kabupaten Lebak, Banten, sudah berlangsung sejak lama. Tiang-tiang listrik aliran atas (LAA) telah berdiri sejak 2014 dan sejumlah KRL pernah menjamah lintas ini. Berbekal rasa ingin tahu yang begitu besar, KAORI menuju ke Rangkasbitung pada hari pertama KRL Commuter Line beroperasi normal.

Dalam perjalanan di KA 1994 (berangkat stasiun Tanah Abang seharusnya pukul 1340), KRL yang kami naiki terlambat sekitar lima menit. Mengingat perjalanan perdana dilakukan pada akhir pekan, maka pupuslah harapan untuk mengistirahatkan kaki walau barang sejenak saja. Sang penulis bahkan rela mengikhlaskan dengkul dan mata kakinya untuk berdiri sepanjang 124 kilometer dari Bogor!
Meninggalkan stasiun Tanah Abang, tidak ada perubahan spesial. KRL yang kami naiki (rangkaian JR 205 set 142) telah mencantumkan peta dengan label stasiun Citeras dan Rangkasbitung. Petugas Pelayanan Kereta (PPK) yang berdinas pun juga mengumumkan perjalanan seolah tidak ada apapun yang terjadi. Hasilnya, terlihat sejumlah penumpang yang tetap memaksakan diri untuk lesehan, duduk di lantai di tengah padatnya kondisi KRL.
Dibandingkan perjalanan menggunakan kereta api lokal, KRL Rangkasbitung jauh lebih menyenangkan dari segi waktu tempuh. Akselerasi yang cepat membuat perjalanan yang sebelumnya ditempuh sepanjang 2 jam 10 menit kini hanya 1 jam 55 menit saja. Tetapi tidak semua orang mampu berdiri dalam perjalanan sepanjang 70-an km dengan KRL yang berhenti di setiap stasiun. Pandawa (baca: kru-kru Cemplus KAORI) yang ketahanan kakinya tidak perlu dipertanyakan lagi pun merasakan ujian ini.
Tiba di stasiun Parung Panjang, penumpang justru bertambah. KRL pun berjalan penuh sesak, dengan kepadatan sekitar 100% kapasitas. Seluruh pegangan dan tempat duduk terisi penuh dalam siang yang terik tersebut. Tidak banyak penumpang yang turun di stasiun-stasiun antara Parungpanjang sampai Tigaraksa. Penuhnya kereta terasa seperti penuhnya KRL Bogor – Jakarta pada jam 7 pagi di hari kerja.

Sembari menahan bau yang menyengat dari penumpang-penumpang di sekitar, kami berbicara dengan penumpang yang berdiri bersama kami di bordes kereta. Abaikan bahasa Sunda mereka yang terasa kasar di telinga orang Bogor, para penumpang secara umum mengeluhkan tidak adanya WC dan bila mereka kebelet, mereka harus merelakan menunggu KRL berikutnya yang jaraknya masih setengah sampai satu jam sekali. Ternyata, walau perjalanannya semakin banyak (14 perjalanan KA lokal vs 16 KRL di Gapeka 2017), waktu operasinya yang semakin panjang membuat penambahan tersebut seolah tidak berdampak apa-apa.
Petugas (Walka) yang lalu lalang tidak bisa diandalkan untuk mengedukasi budaya para penumpang KA lokal. Beban mereka yang sudah cukup berat kini semakin menjadi ketika menghadapi limpahan penumpang KA lokal. Di KA lokal, disediakan kantung sampah dan OTC (on trip cleaner) yang akan memunguti sampah-sampah secara berkala dari gerbong-gerbong penumpang. Tidak demikian di KRL. Terlihat sejumlah penumpang yang menikmati santapan siang dan menggantungkan sampahnya di bordes kereta yang kami lewati. Jangan-jangan di KRL ini atau di perjalanan lain, ada ibu-ibu yang mengarahkan putra-putrinya untuk buang air kecil di akordion kereta dengan gaya kasual.
Perjalanan terus berlanjut sampai KRL tiba di stasiun Maja. Cukup banyak penumpang yang turun di stasiun yang digadang merupakan bangunan pertama di daerah Maja yang memiliki lift ini. Dalam diskusi dengan KCJ beberapa bulan lalu, pola pergerakan penumpang di lintas barat memang cukup unik. Secara umum, pergerakannya terdiri dari tiga bagian: karyawan kelas menengah yang berangkat dari Rawabuntu dan Sudimara ke Tanah Abang, pekerja di kawasan pinggiran ibukota yang naik dari Cilejit, Tigaraksa, Maja dan turun di Palmerah, Kebayoran, dan Pondok Ranji, dan penglaju daerah yang berangkat dari Rangkasbitung kemudian turun di sekitar Parung Panjang atau Serpong. Sementara mereka yang biasanya naik dari Angke dan duduk sepanjang perjalanan sampai Rangkasbitung didominasi oleh pedagang yang membawa barang dagangannya, berupa buah-buahan maupun barang lain dari pasar di sekitar Angke.

KRL tiba pukul 1540 di Rangkasbitung. Pemandangan menarik langsung terlihat di sini. Pintu tap out segera disesaki penumpang di stasiun yang dari segi besarnya, setara dengan stasiun seperti Bojonggede atau Sudimara. Penumpang terlihat gagap karena sebelum ini tidak pernah melakukan tap in dan tap out sehari-harinya. Ada pula yang merasa kesal karena harus membayar uang jaminan kartu THB sehingga setelah mengantri keluar, mereka harus berdesakan mengantri untuk mengambil kembali uang jaminan mereka.
Suasana peron Rangkasbitung mengingatkan suasana stasiun Bogor sepuluh tahun lalu. Terlihat orang yang bebas berlalu lalang dan nongkrong di dekat depo lokomotif. Bancik-bancik darurat yang disiapkan untuk naik-turun dari peron rendah terasa jauh lebih baik dari saat dulu KRL Ekonomi AC Ciujung beroperasi, saat penumpang harus melompat dari peron stasiun Palmerah yang begitu pendek. Dari Rangkasbitung, tampak sejumlah penumpang baru dan beberapa railfans yang mengikuti kami kembali ke Jakarta. Pemandangan yang menarik mengingat sampai 31 Maret, kereta terakhir dari Rangkasbitung berangkat pukul 1615.
Lelah dan dahaga yang menyiksa ternyata masih harus ditahan karena tim kami kehabisan air minum. Minimarket di samping stasiun terlihat dijejali penumpang dan gerai roti di dalam area stasiun yang menjual minuman seharga 15 ribu pun ternyata juga kehabisan es batu. Dua teguk dari air mineral 1,5 liter menjadi satu-satunya pelepas dahaga sampai rombongan kami kembali tiba di Tanah Abang pukul 6 sore.
Tanda tanya pun kembali terngiang dalam pikiran, mengingat kembali cerita-cerita dari lintas barat. Begitu angkernya lintas barat sampai pada zaman dahulu, seorang kondektur yang bertugas di KA lokal pun membawa golok di balik celananya demi berjaga-jaga. Dengan masuknya budaya KRL di tanah Rangkas, kami pun bertanya-tanya, apa yang telah dilakukan oleh operator selain menempel spanduk untuk mengantisipasi gesekan yang mungkin saja terjadi, antara penumpang kelas menengah di Jakarta dan Tangerang dengan penumpang kelas bawah yang sangat kontras terlihat.
KAORI Newsline | oleh Kevin W