Ide “Anti-Mainstream” Penuh Tanda Tanya
Keadaan ini tentu memaksa KCJ memutar otak, sementara kedatangan KRL seri 6000 dari Tokyo Metro yang masih berlangsung mengalami sedikit kelambatan. Inilah awal inovasi hingga pada akhirnya, muncullah gagasan untuk menjadikan beberapa rangkaian KRL seri 203 dengan formasi 8 kereta, lebih panjang dengan dijadikan 10 kereta. Sejatinya, KRL seri 203 sendiri awalnya beroperasi dengan formasi 10 kereta semasa masih di Jepang melayani jalur Joban Local milik JR East, namun kemudian 2 kereta penggerak (Motor/M) di setiap rangkaian dilepas ketika dioperasikan di Jabodetabek. Hanya saja, formasi asli 10 kereta seri 203 berkomposisi 6 kereta penggerak dan 4 kereta gandengan (Trailer/T), alias 6M4T.
Pemanjangan KRL seri 203, jika dirunut dari situasi terkini, diakibatkan sudah tetapnya formasi KRL seri 205 dengan seluruhnya kini berformasi 10 dan 12 kereta. Tentunya, tidak ada lagi rangkaian yang bisa diacak-acak, jika tidak ingin mengurangi jumlah rangkaian. Menengok seri KRL lain berformasi 8 kereta yang telah lama mengabdi di Jabodetabek, nyaris seluruhnya sebenarnya bisa dipanjangkan menjadi KRL formasi 10 kereta. Namun, jika dilakukan akan berdampak pada berkurangnya rangkaian KRL formasi 8 kereta dengan jumlah yang signifikan dan jelas malah merugikan.
Selain itu, terdapat sisa 4 kereta dari KRL seri 203 rangkaian 203-1F yang tidak dioperasikan yakni TC’202-1, M’202-1 (eks-M’202-125), M203-1 (eks-M203-125) dan TC203-1. Kereta M’202-1 dan M203-1 yang merupakan kereta motor mengalami kerusakan komponen penggerak sehingga tidak dapat berfungsi sebagai kereta penggerak, yang mengakibatkan TC’202-1 dan TC203-1 terpaksa ikut mangkrak. Namun, pada akhirnya kereta-kereta yang mangkrak ini dicoba untuk disambungkan ke dua rangkaian KRL seri 203 berformasi 8 kereta, yakni 203-106F dan 203-109F.
Percobaan pertama dilakukan dengan menyambungkan kereta M’202-1 dan M203-1 ke rangkaian 203-106F. Karena tak dapat berfungsi sebagai penggerak, dilepaslah motor traksi dan komponen pengendali yang ada di kedua unit kereta tersebut. Bahkan pada kereta M203-1, nyaris seluruh komponen pengendalian dan penggerak di kolong kereta (underfloor equipment) dilepas untuk meringankan bobot kereta. Hanya saja, unit Motor Generator (MG) dan Compressor (CP) serta komponen-komponen pendukungnya dibiarkan tetap terpasang di M’202-1. Tujuannya agar beban penyediaan kelistrikan ke rangkaian yang bertambah akibat memanjang jadi 10 kereta tak terlampau berat karena MG dan CP tersebut masih bekerja normal. Pantograf pun tetap terpasang di kereta M203-1 untuk turut meringankan beban pantograf lain dalam mengambil daya listrik untuk rangkaian.


2 unit kereta motor ini pun turun kasta menjadi kereta trailer dan digabungkan dalam rangkaian 203-106F yang berformasi 8 kereta, dengan komposisi awal 4 kereta motor dan 4 kereta trailer (4M4T). Formasi rangkaian juga turut diacak, dengan menggeser kereta trailer (T203-112 dan T203-111) yang semula berposisi di tengah rangkaian, ke sebelah dari masing-masing kereta trailer berkabin (TC’202-106 dan TC203-106) di urutan 2 dan 9, dan meletakkan kereta M’202-1 serta M203-1 di tengah rangkaian (urutan 5 dan 6) untuk memastikan keseimbangan beban yang dihela kereta motor yang hanya 4 unit saja (M’202-118, M203-118, M’202-116 dan M203-116), pada urutan kereta 3, 4, 7 dan 8.

Disinilah letak tanda tanya besar itu. Bergabungnya 2 kereta tambahan yang bertindak sebagai kereta trailer mengakibatkan 203-106F kini berformasi 10 kereta dengan jumlah kereta motor lebih sedikit dari kereta trailer-nya (4M6T). Ini jelas menimbulkan kekhawatiran tersendiri, apakah rangkaian tersebut akan kuat beroperasi -terlebih saat kondisi padat penumpang- dengan beban yang begitu berat dipikulnya. Lebih-lebih karena selama ini KRL di Jabodetabek beroperasi dengan komposisi kereta penggerak lebih banyak atau sama dengan jumlah kereta gandengannya.
Bersambung ke Halaman Berikutnya