Sekaikei yang Belum Usang
Banyaknya ciri-ciri sekaikei dalam anime DARLING in the FRANXX mungkin seharusnya bukan hal yang mengejutkan, mengingat sang sutradara Atsushi Nishigori adalah jebolan studio GAINAX yang membuat Evangelion. Namun yang menarik untuk dilihat lebih lanjut adalah bagaimana anime ini dibuat sebagai “kolaborasi” antara studio Trigger dengan A-1 Pictures. Trigger sendiri memang didirikan oleh animator-animator jebolan GAINAX yang dahulu merupakan rekan-rekan kerja Nishigori, sementara A-1 Pictures adalah tempat di mana Nishigori menghasilkan anime The iDOLM@STER yang memberinya koneksi baru kepada bakat-bakat di luar lingkungan GAINAX.
Kombinasi tersebut nampaknya penting untuk menghadirkan staf-staf yang berpengalaman dalam membuat anime-anime berisi drama remaja yang mengedepankan perasaan dan hubungan antar karakter, sehingga memberinya warna yang berbeda dibandingkan sekaikei rasa Evangelion. Misalnya ada Masayoshi Tanaka sebagai desainer karakter dan pengarah animasi utama Darlifra, yang merupakan desainer karakter dan pengarah animasi dari anime seperti Anohana (2011), The Anthem of the Heart/Kokoro ga Sakebitagatterunda (2015), dan your name./Kimi no Na wa. (2016); atau Noriko Takao yang mengarahkan episode kelima merupakan jebolan Kyoto Animation yang terkenal sebagai studio yang piawai menggambarkan perasaan karakter secara halus (subtle) melalui bahasa non-verbal. Darlifra membawakan gaya yang berbeda dibandingkan gaya Hideaki Anno yang njelimet di Evangelion (profesor sekelas Thomas Lamarre saja masih bisa dibikin bingung oleh visi Anno).

Kehadiran Darlifra menunjukkan bahwa “garis keturunan (lineage)” GAINAX masih hidup di luar GAINAX, dan bahkan tradisi sekaikei GAINAX bisa dikembangkan dengan rasa baru melalui pertemuan dengan tenaga kreatif dari luar GAINAX. Mungkin anime ini juga menunjukkan bahwa cerita sekaikei masih memiliki daya tarik di era kini. Di sisi lain, sebagai anime mecha mungkin Darlifra terasa kurang dalam membawakan aksi robot-robotan karena dominasi drama hubungan antar karakter. Dibandingkan Darlifra, Knight’s & Magic jelas lebih mampu membuat aksi robot-robotan terasa keren dan memukau. Tapi itu bukan berarti Darlifra merupakan anime mecha yang jelek, hanya saja mecha di dalamnya memusatkan perhatian kita kepada hal-hal lain. Anime ini tetap menarik untuk memikirkan bagaimana keresahan akan kondisi dunia yang masyarakat yang seringkali tidak menentu dapat dinarasikan melalui suatu media fiksi visual.
Demikian apa yang dapat saya telaah dari DARLING in the FRANXX sejauh ini. Saya sadar masih banyak aspek dari anime ini yang belum tercakup dalam bahasan (misalnya soal penggambaran asimetri gender), dan memang animenya sendiri belum tamat sehingga bisa saja ada perkembangan-perkembangan baru untuk dianalisis lebih lanjut. Tapi saya harap setidaknya tulisan ini dapat membantu untuk melihat anime ini dalam konteks anime mecha dalam genre sekaikei.
Catatan dan Referensi:
- *Cabang Kouenji dari studio A-1 Pictures yang turut mengerjakan DARLING in the FRANXX telah di-branding ulang sebagai studio CloverWorks pada tanggal 1 April 2018.
- Atelier Emily (2018), “Parasites” in Darling in the Franxx (and robot name flower meanings),” diakses dari https://formeinfullbloom.wordpress.com/2018/01/13/parasites-in-darling-in-the-franxx-and-robot-name-flower-meanings/ pada tanggal 15 April 2018, 16.30.
- Motoko Tanaka (2013), “Apocalyptic Imagination: Sekaikei Fiction in Contemporary Japan,” diakses dari www.e-ir.info/2013/02/01/apocalyptic-imagination-sekaikei-fiction-in-contemporary-japan/ pada tanggal 15 April 2018, 14.45. Saya menggunakan versi ini sebagai rujukan karena saya harap pembahasannya cukup ringkas untuk dipahami pembaca yang belum mengenal genre sekaikei.
- Patrick W. Galbraith (2014), “Intorduction: Falling in Love with Japanese Characters,” dalam The Moe Manifesto: An Insider’s Look at the Worlds of Manga, Anime, and Gaming (Tuttle Publishing), hlm. 4-23.
- Sakuga Blog (2018), “DARLING in the FRANXX – Introduction and Episode 1,” diakses dari blog.sakugabooru.com//2018/01/18/darling-in-the-franxx-introduction-and-episode-1/ pada tanggal 15 April 2018, 15.50.
- Thomas Lamarre (2009), “Chapter 16: A Face on the Train,” dalam The Anime Machine (Minneapolis: University of Minnesota Press), hlm. 209-220.
Ditulis oleh Halimun M | Penulis telah menjadi penikmat anime selama 10 tahun sambil berguru dari buku dan jurnal.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
Mau menulis artikel opini seperti ini dan dimuat di KAORI? Baca cara dan tipsnya di sini!