Tren budaya pop Korea Selatan, atau yang dikenal sebagai Korean Wave alias Hallyu merupakan sebuah fenomena internasional yang terjadi di banyak negara, termasuk Jepang. Kedekatan geografi dan budaya, serta kelihaian Korea Selatan dalam mengemas dan menjual produk-produk budaya popnya, terutama kepopuleran K-Pop memang berhasil membuat generasi muda di Jepang semakin gandrung dan terjangkit tren Korean Wave. Salah satu yang cukup “berjasa” dalam menyebarkan tren Korean Wave ini, terutama di Jepang adalah media sosial.
Yua Mikami dkk yang banting setir dari idol dan aktris kondang Jepang menjadi idol K-Pop, salah satu pengaruh dari Hallyu
Laman asal Jepang Mainichi Shimbun melaporkan bahwa antusiasme generasi muda Jepang terhadap budaya pop Korea Selatan hingga saat ini masih sangat besar. Hal itu bisa terlihat salah satunya dari ramainya distrik Shin-Okubo, Tokyo yang sering disebut-sebut sebagai Korea Townnya Tokyo, sekaligus jantung Korean Wave di Jepang. Bahkan dewasa ini, semakin banyak orang Jepang yang terobsesi menjadi bintang K-Pop, dan semakin banyak juga generasi muda Jepang yang tertarik untuk belajar bahasa Korea. Selain itu generasi muda Jepang juga memandang bahwa Korea Selatan lebih fashionable dibanding Jepang. Berdasarkan survei, Korea Selatan sendiri saat ini menjadi tujuan wisata kelulusan favorit siswi SMA Jepang. Yang menarik, kegandrungan generasi muda Jepang terhadap budaya Korea rupanya tidak terbatas pada Korea Selatan saja, namun juga Korea Utara, yang diwakili oleh komunitas Sengun Joshi.

Bukan cuma Hallyu saja. Di Jepang bahkan ada komunitas penggemar budaya pop Korea Utara
Mainichi Shimbun juga menyebutkan bahwa Jepang dewasa ini tengah mengalami apa yang disebut sebagai “Korean Wave Gelombang Ketiga“. Jika pada gelombang pertama ditandai dengan kepopuleran serial drama Winter Sonata pada tahun 2003 lalu, dan gelombang kedua ditandai dengan kepopuleran grup-grup musik K-Pop seperti TVXQ dan SNSD pada tahun 2011 lalu, maka gelombang ketiga ini justru dipandang lebih besar lagi. Gelombang ketiga ini dipandang bukan hanya mencakup idol K-pop saja, tetapi juga mencakup hingga kosmetik dan kuliner. Berdasarkan survei yang diikuti oleh 180 wanita berusia antara 10 hingga 30 tahun, 90 persen wanita muda Jepang saat ini memandang Korea Selatan sebagai “sumber” dari segala tren masa kini yang mereka gandrungi.
Kepopuleran budaya Korea Selatan di mata generasi muda Jepang ini nampak kontras dengan ketegangan diplomatik antara Korea Selatan dan Jepang yang seringkali naik-turun, dan bahkan baru-baru ini sempat kembali memanas setelah kasus perbudakan paksa oleh Jepang di masa penjajahan. Pemerintah Jepang juga dinilai tidak benar-benar “bertobat” akibat dosanya di masa lalu. Yang pasti buntut dari ketegangan ini berimbas pada Jepang yang mencabut status Korea Selatan dalam daftar mitra dagang favorit, dan berbuntut pada aksi boikot produk-produk Jepang oleh rakyat Korea Selatan.
Peran Media Sosial
Namun bagi kaum muda Jepang sendiri, ketegangan tersebut rupanya nyaris tidak telalu memengaruhi mereka. Salah satu penyebabnya adalah banyak dari generasi muda Jepang yang mengonsumsi berita dari media sosial/medsos, di mana media sosial umumnya cukup jarang mengekspos masalah politisasi hubungan Korea Selatan – Jepang, suatu hal yang justru cukup sering diangkat oleh media arus utama. Sebaliknya, mereka yang tidak aktif di media sosial malah tidak terlalu terpengaruh dengan tren “Korean Wave Gelombang Ketiga.”
Tidak jelas apakah ketergantungan generasi muda terhadap media sosial ini berpengaruh kepada media arus utama yang tidak terlalu mengangkat isu Korean Wave, seperti misalnya grup-grup K-Pop yang senantiasa sukses meramaikan stadion-stadion besar di Jepang. Misalnya saja BTS yang seringkali sukses dalam menjual single-singlenya di Jepang, ataupun TVXQ yang merupakan grup dengan pendapatan konser terbesar di Jepang selama tahun 2018.
Satu hal yang pasti, ketegangan antara Jepang dan Korea Selatan akan semakin merugikan kedua belah pihak, termasuk Jepang sendiri. Korea Selatan selama ini menjadi penyumbang turis asing terbesar kedua ke Jepang setelah Tiongkok. Namun Nagasaki Shimbun baru-baru ini melaporkan adanya penurunan jumlah turis di pulau Tsushima yang merupakan salah satu destinasi wisata terpopuler yang banyak dikunjungi turis dari Korea Selatan.
Jika hal ini terus berlanjut, Jepang akan menderita kerugian ekonomi cukup besar ke depannya. Media Jepang senantiasa mencap “pergolakan” di Korea Selatan sebagai sentimen “anti-Jepang”, meski sesungguhnya lebih tepat disebut anti pemerintah Jepang. Hal ini kerap dipandang sebagai langkah “pembenaran” ketimbang upaya mencari solusi.
KAORI Newsline | Sumber: Japan Times | Sumber Foto: Koreaboo, Ilgan Sports, & Reuters