Studio Ghibli di Persimpangan Jalan (oleh Halimun Muhammad)

@ Studio Ghibli

Studio Ghibli mengawali dekade 2010-an dengan masih menghadirkan film-film baru seperti biasanya. Di antaranya termasuk The Wind Rises (2013) dari Hayao Miyazaki, yang telah menghasilkan sejumlah film-film animasi Jepang terlaris di era Heisei, dan The Tale of the Princess Kaguya (2013), yang menandai kembalinya Isao Takahata membuat film setelah terakhir kali menyutradarai My Neighbors the Yamadas (1998). Namun perubahan mengejutkan terjadi ketika Miyazaki menyatakan akan pensiun setelah merilis The Wind Rises. Ini memang bukan pertama kalinya Miyazaki menyatakan akan pensiun, tetapi kali ini, setahun setelah Miyazaki mengumumkan hal tersebut, Toshio Suzuki mengumumkan bahwa Ghibli akan menghentikan dulu kegiatan produksi animasinya untuk memikirkan ke mana arah studio ke depannya setelah Miyazaki pensiun.

Sebagaimana dibahas bersama Renato Rivera Rusca dari Universitas Meiji di Japan Times, absennya Ghibli memiliki dampak terhadap ekosistem film animasi layar lebar Jepang. Kekosongan yang ditinggalkan Ghibli diisi dengan bertambahnya film-film animasi produksi studio lainnya yang kini berkesempatan mendapatkan perhatian publik. Dari lingkungan Studio Ghibli sendiri, beberapa jebolan studio tersebut termasuk produser Yoshiaki Nishimura dan sutradara Hiromasa Yonebayashi mendirikan Studio Ponoc dan telah merilis film layar lebar pertama mereka, Mary and the Witch’s Flower (2017), diikuti dengan sebuah antologi film pendek. Dalam konteks ini juga lah, Makoto Shinkai secara mengejutkan menjadi jawara box office baru dengan film your name. di tahun 2016.

Di tahun 2016, Miyazaki akhirnya kembali memulai proses membuat film layar lebar lagi, yang hingga 2019 berakhir belum rampung. Namun di sisi lain, Isao Takahata telah menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 2018. Sementara itu, putra Miyazaki sendiri, Goro Miyazaki, sempat juga membuat serial televisi 3DCG Ronja the Robber’s Daughter bersama Polygon Pictures di tahun 2014, dan Ghibli juga sempat bekerja sama dalam pembuatan The Red Turtle (2016), film layar lebar pertama besutan animator asal Belanda, Michaël Dudok de Wit, bersama dengan studio Wild Bunch.  Bagaimanapun jadinya film terbaru Miyazaki dan keberlanjutan Ghibli di dekade yang akan datang, yang jelas hal-hal yang telah dilalui oleh studio tersebut selama dekade 2010-an membuatnya sudah tidak bisa lagi sama seperti sebelumnya.

Menguatnya Peran Web Novel di Industri Kreatif Jepang (oleh Halimun Muhammad)

SAO, Cautious Hero, dan Youjo Senki adalah contoh karya yang awalnya diterbitkan sebagai web novel ©KADOKAWA CORPORATION 2019

Berkaitan dengan tren isekai yang telah disebut sebelumnya, kita tidak bisa mengabaikan bahwa banyak cerita-cerita isekai yang nampak dari anime beberapa tahun terakhir awalnya berasal dari web novel. Hal ini bisa cukup penting untuk dilihat sebagai suatu perkembangan tersendiri juga, di mana platform publikasi web novel seperti Shousetsuka ni Narou menjadi sumber IP baru untuk dikembangkan ke berbagai bentuk media lainnya.

Platform-platform tersebut telah menjadi jalan baru bagi penulis-penulis amatir untuk membangun sendiri audiens bagi karyanya, dan setelah cukup populer dalam sistem ranking di platform tersebut, kemudian menarik perhatian perusahaan-perusahaan penerbitan untuk menerbitkan karya mereka dalam bentuk buku, seringkali melalui label novel ringan. Dari situ kemudian media-media lainnya seperti komik, drama CD, hingga anime bisa saja dikembangkan. Menariknya, penerbit yang tidak biasanya dikenal sebagai penerbit novel ringan juga menerbitkan buku-buku dari web novel itu. Misalnya Shufunotomo yang menerbitkan Knight’s & Magic dan Isekai Shokudo yang telah diadaptasi menjadi anime di tahun 2017, bisnis aslinya adalah menerbitkan majalah wanita. Tetapi tidak hanya isekai, ada juga web novel dengan tema lain yang telah menjadi cukup sukses, seperti I Want to Eat Your Pancreas yang telah diadaptasi menjadi film animasi dan juga film live action.

Cerita-cerita yang dipublikasikan di platform ini memang dikenal biasanya memiliki kemiripan gaya penulisan, misalnya ditulis seperti catatan kegiatan tokohnya, atau kemiripan tema dan elemen cerita, seperti menggunakan elemen gameplay RPG fantasi untuk menjelaskan kekuatan tokoh atau memiliki tokoh utama yang OP (overpower alias kelewat kuat); sehingga memunculkan sebutan “narou-kei” untuk menyebut cerita-cerita dengan karakteristik-karakteristik seperti itu. Joe dari Pause and Select yang telah banyak menelaah tren web novel ini menjelaskan beberapa faktor yang membentuk karakteristik-karakteristik web novel yang seperti itu. Di antaranya, berhubung web novel biasanya ditulis oleh amatir yang memiliki pekerjaan utama lain dan menulis hanya sebagai kegiatan sampingan, mereka memilih gaya penulisan yang memungkinkan untuk menulis dengan mudah dan cepat. Hanya penulis yang karyanya sudah diterbitkan hingga menjadi sangat sukses yang kemudian beralih menjadi penulis full time.

Selain itu, selama dalam lingkungan platform web novel, penulis mendapatkan feedback bukan dari editor, tetapi langsung dari komentar pembaca yang mungkin juga merupakan sesama penulis di platform tersebut. Dengan menjadi sumber baru untuk IP multimedia dan adanya lingkungan yang khas yang membentuk karakteristik-karakteristik karya di dalamnya, keberadaan platform web novel dapat dianggap sebagai salah satu media yang memiliki peran signifikan di 2019.

Berkembangnya Komunitas Sakuga (oleh Dany Muhammad)

Credit anime Boruto yang mencantumkan animator asal Indonesia (© Masashi Kishimoto Scott / Shueisha, TV Tokyo, Pierrot)

Pada dekade lalu, tidak banyak yang mengenal secara detail tentang para animator serta dan apa yang terjadi di balik layar sebuah produksi anime. Hal ini menyebabkan banyak miskonsepsi tumbuh subur dan berkembang di kalangan penggemar anime. Mitos-mitos seperti studio Ufotable dapat menghasilkan anime berkualitas bagus karena memiliki budget tidak terbatas atau semakin banyak jumlah framenya maka kualitas animasinya akan semakin baik. Agaknya hal ini sangat mudah dimaklumi mengingat sebagian besar materi produksi anime yang dipublikasikan secara luas menggunakan bahasa Jepang.

Perkembangan komunitas sakuga sedikit banyak mulai membuka tabir di balik proses produksi anime. Meskipun sudah mulai tumbuh di pertengahan 2000, komunitas Sakuga benar-benar mendapat perhatian di dekade ini. Dimulai dari sekedar menyebarkan potongan-potongan animasi yang mereka anggap bagus, menyebarkan cuitan para animator di twitter, menterjemahkan wawancara para staf, hingga menyebarkan materi produksi seperti storyboard. Yang menarik, aktivitas mereka di internet menyebabkan mereka banyak menjadi sumber rujukan dalam diskusi anime yang berhubungan dengan proses produksi. Blog-blog seperti Sakugabooru dan kanal youtube seperti Canipa Effect banyak diangkat apabila terjadi diskusi yang mengangkat masalah proses produksi. 

Berkat aktivitas mereka, nama animator Jepang yang sebelumnya terlupakan dapat dikenal oleh masyarakat luas. Nama-nama seperti Yutaka Nakamura, Mai Toda, ataupun animator Indonesia Ida Bagus Yoga (Guzzu) mulai terdengar di kalangan penggemar anime. Berkembangnya komunitas ini juga membuka banyak  mengangkat berbagai masalah yang mendera sebuah proses produksi, termasuk jadwal yang kelewat padat dan masalah kesejahteraan animator Jepang yang rendah.

Itulah kilas balik sedekade dari 8 tren yang terjadi di dunia Pop Culture Jepang selama satu dekade terakhir. Untuk 7 tren lainnya akan dibahas pada artikel kilas balik sedekade bagian kedua.

KAORI Newsline | Oleh Litbang KAORI

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses