Dua Alur Penggunaan Moe

1

Oyaji Moe TnB

Ketika suatu kata slang telah lazim digunakan, orang-orang diasumsikan telah memahami arti kata itu secara seragam. Padahal karena tidak memiliki arti yang disepakati secara formal, sebenarnya ada keragaman yang berkembang dalam memaknai kata tersebut. Pun demikian dengan kata moe, ungkapan yang banyak dikenal di kalangan penggemar anime dan manga ini seringkali digunakan begitu saja seolah-olah siapapun yang menggunakannya, arti yang dimaksudnya pasti sama. Sudah beberapa kali saya menyaksikan orang yang terkejut ketika menemukan bahwa ada orang lain yang menggunakan ungkapan tersebut dengan cara yang berbeda jauh dari arti yang dia pahami.

Setelah mengamati berbagai wacana mengenai moe selama beberapa tahun, kini saya ingin mengajukan sebuah model sederhana untuk memetakan keragaman penggunaan ungkapan moe. Proposisi saya adalah terdapat dua alur besar dalam penggunaan ungkapan moe. Alur pertama mengidentikkan “moe” dengan estetika “kawaii”, khususnya berkaitan dengan desain karakter bishōjo (cute girl). Sementara alur kedua bersifat lebih interpretif, yaitu ungkapan afeksi atau kasih, atau reaksi emosional yang intens yang dapat dirasakan tidak hanya dari gambar bishōjo, tapi juga dari berbagai hal lain, tergantung dari yang merasakannya. Untuk memahami bagaimana kedua alur tersebut bisa berkembang, perlu dilihat terlebih dahulu sedikit sejarah bagaimana ungkapan moe muncul dan digunakan awalnya. Asal-usul penggunaan ungkapan moe tersebut memang memuat potensi yang dapat berkembang ke kedua arah tersebut.

Ungkapan Moe dalam Percakapan Internet

Penjelasan-penjelasan yang ada mengenai asal-usul ungkapan moe menyatakan bahwa penggunaan ungkapan tersebut bermula dari percakapan penggemar anime, manga dan game dalam message board internet sekitar tahun 90-an (Galbraith, 2014). Ka’ichirō Morikawa menerangkan, saat sedang membicarakan karakter-karakter tertentu dari anime/manga/game, para penggemar mengungkapkan afeksi menggebu-gebu mereka terhadap karakter-karakter itu dengan mengetikkan moe. Ungkapan tersebut berasal dari kata kerja 燃える (terbakar), tapi oleh sistem komputer otomatis ditampilkan menjadi kata kerja lain yang bunyinya sama, 萌える (menguncup). Kekeliruan hasil pengetikan ini tidak menjadi masalah, karena cepatnya percakapan online membuat pengetiknya tidak sempat mengecek kembali hasil ketikannya dan yang membaca pun tidak peduli karena maksud yang diungkapkannya tetap tersampaikan.

Moe 90
Moe (Kyōryū Wakusei, 1993), Moe Takatsu (Taiyō ni Smash!, 1993), Tomoe Hotaru (Sailor Moon, 1994)

Morikawa memberikan tiga contoh karakter yang populer dibicarakan saat itu, yaitu Moe dari kartun anak-anak Kyōryū Wakusei (1993-1994), Moe Takatsu dari komik shōjo bertema tenis Taiyō ni Smash! (1993), dan Tomoe Hotaru dari seri Sailor Moon S (1994-1995). Contoh-contoh ini dipilihnya karena memang merekalah yang populer saat itu dan kebetulan sama-sama memiliki unsur ”moe” dalam nama mereka; bukan karena karakteristik fisik atau perilaku tertentu. Tapi menarik juga untuk diperhatikan, bahwa karakter-karakter tersebut berasal dari komik/kartun untuk penonton anak-anak dan perempuan, bukan dari komik/kartun untuk penonton lelaki.

Tumpang Tindih Moe dengan Kawaii/Bishōjo

Jika diperhatikan, penggunaan moe sebagai ungkapan afeksi yang menggebu-gebu seperti di atas memang ditujukan pada karakter-karakter perempuan yang bisa dibilang imut. Maka tidak mengherankan kalau moe kemudian diidentikkan dengan estetika kawaii dan desain karakter bishōjo. Bahkan karakter bishōjo seolah diartikan sebagai moe itu sendiri. Karakter bishōjo adalah karakter “moe”. Titik.

Anak Alay
“Maskot ini so much moeduduk.” -A certain penyiar radio dari Bandung

Seiring dengan semakin dikenal luasnya penggunaan kata “moe”, terlebih lagi sejak drama televisi populer Densha Otoko (2005) menggambarkan tokoh-tokoh otaku-nya mengucapkan “moe” saat membahas karakter bishōjo*), semakin memperkuat persepsi itu. “Moe” sebagaimana dipahami sebagai karakter perempuan yang imut, menjadi dilihat sebagai sesuatu yang “menjual”, dan semakin mendorong tren pembuatan karakter dengan “gaya moe” agar laku.

“Anime seperti Lucky Star adalah moe bagi pemula karena mengajarkan penonton cara membaca aspek imut dari desain karakter” –Hikaru Higashimura
“Anime seperti Lucky Star adalah moe bagi pemula karena mengajarkan penonton cara membaca aspek imut dari desain karakter” –Hikaru Higashimura

Munculnya istilah “moefikasi” dalam percakapan penggemar anime/manga/game di internet juga menunjukkan kecenderungan ini. Benda atau hal-hal yang dipersonifikasikan sebagai karakter bishōjo dianggap telah dijadikan “moe”. Anime yang banyak menampilkan karakter bishōjo seperti K-On! juga sering disebut sebagai “anime moe”. Penggunaan label “moe” sebagai genre seperti itu sebenarnya dapat menjadi hal yang misleading, tetapi saya akan simpan topik ini untuk bahasan yang lebih luas mengenai genre di lain kesempatan.

Pelebaran Interpretasi Moe sebagai Afeksi

Perkembangan populer ungkapan moe memang banyak diidentikkan dengan kawaii dan bishōjo. Namun apakah itu berarti moe hanya berkaitan dengan “imut”? Bagi yang memahami moe sebagai ungkapan afeksi, emosi tersebut tidak dibatasi oleh tampilan yang imut. Selama afeksi itu dirasakan terhadap suatu karakter, seperti apapun tampilan karakternya, maka itulah moe. Morikawa sendiri mengatakan afeksi dapat dirasakan terhadap bermacam karakter. Dan ada contoh-contoh nyata yang dapat diamati di mana moe digunakan untuk mengungkapkan afeksi bukan kepada karakter perempuan yang imut.

Madarame Moe by Hirano
Ilustrasi Madarame yang digambar oleh Kōta Hirano yang dimuat di Genshiken vol. 6

Salah satu contoh yang cukup dikenal berkaitan dengan Genshiken, komik karya Shimoku Kio yang menggambarkan kehidupan otaku. Komikus Kōta Hirano yang menciptakan komik Hellsing, pernah menggambar fanart untuk Genshiken. Di sana ia menggambar salah satu karakter laki-laki dari Genshiken, Harunobu Madarame, dan menyertakan komentar tertulis yang mengatakan bahwa “Madarame adalah karakter paling moe di Genshiken”. Hal ini menarik karena Madarame tidak hanya berpenampilan kurus kering seperti tiang listrik, jauh dari kesan ganteng atau seksi, dia juga otaku paling akut yang membeli dōjinshi tanpa melihat label harganya, serta tidak berani mengungkapkan perasaan sukanya pada anggota perempuan di klub kampusnya. Seorang komikus laki-laki menganggap karakter seperti itu moe.

Sebagaimana pernah saya bahas dalam artikel sebelumnya, di Jepang ungkapan moe juga digunakan oleh kalangan fujoshi, atau perempuan yang menggemari cerita boys love/yaoi. Ketika digunakan oleh fujoshi, moe tidak digunakan untuk mengungkapkan afeksi pada karakter perempuan, tapi untuk mengungkapkan afeksi kepada pasangan yaoi, dengan merumuskan hubungan antara karakter-karakter laki-laki dalam peran seme dan uke. Bahkan benda mati seperti mobil dan jalan pun dapat menjadi moe bagi mereka, dengan membayangkan benda-benda itu sebagai pasangan yaoi.

Moe dalam fantasi fujoshi: "playful relationship"
Moe dalam fantasi fujoshi: “playful relationship”

Pelebaran makna seperti ini menjadi mungkin karena “afeksi” adalah suatu emosi yang luas. Ia bisa timbul tidak hanya dari tipe-tipe tampilan fisik tertentu saja. Menurut Mitsuru Sōda, kuncinya ada pada bagaimana bentuk “interaksi” seseorang dengan suatu hal, sehingga menimbulkan afeksi terhadap hal tersebut. Bagi seseorang yang berinteraksi dengan mobil hanya sebagai kendaraan untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain, mobil mungkin tidak terasa sebagai suatu hal yang moe. Tapi bagi mereka yang menikmati pengalaman mengemudi dan/atau mengutak-atik mesin dan bodi mobil, mobil bisa jadi merupakan hal yang moe bagi mereka. Sementara fujoshi bisa berinteraksi dengan mobil melalui pola pikir mereka menempatkan mobil dan jalan dalam konteks yaoi sebagai pasangan seme dan uke, sehingga menjadi moe bagi mereka dalam bentuk yang berbeda.

Pendekatan interpretif seperti ini membuka potensi yang lebih luas dan beragam untuk memahami moe. Apa yang dianggap seseorang tidak moe mungkin dirasa moe oleh orang lain dan begitu juga sebaliknya. Tidak ada yang lebih “benar” atau “salah”, karena semuanya kembali kepada apa yang dirasakan masing-masing dan konteks terbentuknya perasaan itu. Itulah yang membuat moe bisa menjadi perasaan yang berharga bagi tiap-tiap orang. Tinggal bagaimana kita dapat saling menghormati perasaan masing-masing.

shirobako
Jangan lupa dukung terus sutradara kesayangan kita!

Catatan

*) Morikawa menganggap penggambaran otaku di Densha Otoko sebagai olok-olok terhadap penggemar anime/manga/game, karena sebelumnya moe hanyalah slang yang digunakan dalam percakapan internet, tidak diucapkan secara lisan sebagaimana digambarkan dalam Densha Otoko.

Referensi

  • Patrick Galbraith, The Moe Manifesto: An Insider’s Look at the Worlds of Manga, Anime, and Gaming (Tuttle Publishing, 2014).
  • Patrick Galbraith, “Fujoshi: Fantasy Play and Transgressive Intimacy among “Rotten Girls” in Contemporary Japan”, dalam jurnal Signs, Vol. 37, No. 1 (2011), halaman 211-232.
  • Shimoku Kio, Genshiken: The Society for the Study of Modern Visual Culture, Vol. 6 (Kodansha, 2005).

KAORI Newsline | oleh Halimun Muhammad

Sumber gambar: Crunchyroll, Genshiken, dan berbagai sumber

1 KOMENTAR

  1. contoh ketika ada pertarungan sengit di fairy tail antara natsu melawan laxus, saya anggap pertarungan tsb ‘moe’, bisakah seperti itu??? atau ngga event mengharukan yg terjadi di golden kamuy saya anggap moe, bisakah??

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses