Lolicon dan Pedofilia
Karena kini lolicon banyak dipakai untuk mengindikasikan ketertarikan dengan cewek di bawah umur, lolicon kemudian menjadi identik dengan pedofilia. Namun ada yang perlu diperhatikan dari kecenderungan untuk mengaitkan keduanya itu.
Di satu sisi, dengan pengertiannya yang sekarang pun, lolicon sulit menemukan kriteria yang jelas untuk lolicon. Ketika saya mencoba menanyakan berapa batasan umur paling atas yang bisa diterima oleh lolicon kepada beberapa rekan saya yang menggemari anime dan manga, termasuk yang mengaku diri sebagai lolicon, saya tidak mendapat jawaban yang jelas. Ketidakjelasan ini mungkin bisa kita pahami jika mengingat lolicon sejatinya adalah suatu ungkapan slang. Sebagai kata slang, lolicon dapat dipergunakan dengan relatif bebas dalam percakapan tanpa ada yang berwenang mengatur artinya.
Di sisi lain, pedofilia dikenal sebagai suatu diagnosa medis dalam bidang ilmu kejiwaan. Dan pengertian serta kriteria untuk menentukan pedofilia diatur secara rinci dan ketat dalam bidang ilmu yang dimaksud. Dalam Classification of Mental and Behavioural Disoders yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), misalnya, ada sejumlah kriteria yang dapat ditemukan. Pertama, pedofilia merupakan preferensi seksual yang kuat dan lama kepada anak-anak yang belum puber. Di situ ada kriteria mengenai anak yang menjadi obyek preferensi seksual pedofil, yaitu belum mengalami kematangan organ reproduksi, baik terhadap anak laki-laki, maupun anak perempuan. Selain itu preferensi tersebut harus dialami terus menerus setidaknya selama enam bulan. Kemudian, ada kriteria usia bagi orang yang didiagnosa sebagai pedofil, yaitu minimal berusia 16 tahun, dan minimal lebih tua lima tahun dari anak yang menjadi obyek preferensinya.
Definisi dan kriteria diagnosa pedofilia yang ditetapkan oleh para ahli di bidang ilmu yang bersangkutan memang juga menjadi subyek dari kritik dan perdebatan ilmiah (Blanchard, 2009). Namun untuk mengubah definisi dan kriteria yang ada juga perlu melalui prosedur akademik yang ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pedofilia tidak dapat didiagnosakan secara sembarangan kepada seseorang, karena memiliki implikasi kepada perawatan medis. Itu berbeda dari lolicon yang maknanya dapat bergeser seiring dengan perubahan perilaku berbahasa di kalangan yang mengenal istilah tersebut, yang tidak dapat diatur oleh siapa pun.
Kesimpulan: Fleksibilitas Makna Kata Slang
Esai ini tidak bermaksud untuk mengajak kembali ke “makna asli” lolicon. Pergeseran makna memang sesuatu yang wajar terjadi dalam proses berbahasa, terlebih lagi dalam jangka waktu yang sudah cukup lama. Karena itu tidak perlu dipaksakan seolah-olah “makna asli” yang digunakan terlebih dahulu itu lebih benar. Esai ini hanya mengingatkan saja bahwa pergeseran makna itu bisa dan telah berlangsung. Selain itu, perlu diperhatikan juga jika sedang membicarakan mengenai lolicon boom di era 1980-an, apa yang dimaksud dengan lolicon di masa itu tidak sama persis dengan pengertian yang kita pahami kini. Kemudian, bukan tidak mungkin makna lolicon masih dapat bergeser lagi di masa depan sehingga tidak sama persis dengan apa yang kita pahami sekarang.
Di sisi lain, kita juga perlu berhati-hati jika membandingkan lolicon dengan pedofilia. Karena sementara lolicon adalah ungkapan slang yang maknanya fleksibel dan mudah bergeser melalui pergaulan; pedofilia sebagai suatu diagnosa medis memiliki pengertian dan kriteria yang ditentukan dan diatur dengan ketat. Mencampuradukkan keduanya dapat menimbulkan kerancuan.
Referensi
- Blanchard, Ray (2009), “The DSM Diagnostic Criteria for Pedophilia,” dalam Achives of Sexual Behavior, Vol. 39, No. 2, hlm. 304-316.
- Comic Market Preparations Committee, “What is the Comic Market?” Presentasi Februari 2008, diakses dari http://www.comiket.co.jp/info-a/WhatIsEng080225.pdf.
- Galbraith, Patrick W. (2011), “Lolicon: The Reality of ‘Virtual Child Pornography’ in Japan,” dalam jurnal Image & Narrative, Vol. 12, No. 1, hlm. 83-114.
- Galbraith, Patrick W. (2013), “Osamu Moet Moso: Imagining Lines of Eroticism in Akihabara,” dalam Mechademia, Vol. 8 (Minneapolis: University of Minnesota Press), hlm. 279-297.
- Lam, Fan-Yi (2010), “Comic Market: How the World’s Biggest Amateur Comic Fair Shaped Japanese Dōjinshi Culture,” dalam Mechademia, Vol. 5 (Minneapolis: University of Minnesota Press), 232-248.
- sdshamshel/Carl Li (2010), “Definitions of Lolicon,” diakses dari https://ogiuemaniax.wordpress.com/2012/06/05/definitions-of-lolicon/.
- World Health Organization (1993), Classification of Mental and Behavioural Disoders: Diagnostic Criteria for Research (Jenewa: World Health Organization)