Anime yang diadaptasi dari novel ringan (light novel) kini telah menjadi hal yang lumrah. Suka atau tidak, di setiap musim tayang selalu ada anime-anime yang diadaptasi dari novel ringan. Walau anime yang diadaptasi dari novel ringan telah ada sejak cukup lama (lihat anime Slayers yang telah muncul di dekade 1990-an, misalnya), perkembangannya terasa semakin pesat selama setidaknya sekitar sepuluh tahun terakhir. Dalam keadaan tersebut, saya tak bisa memungkiri bahwa adaptasi novel ringan telah ikut mempengaruhi dan mewarnai perjalanan saya sebagai penggemar anime dengan beberapa pengalaman dan kenangan penting.
Pertama, adaptasi novel ringan telah membuat saya tertarik kembali kepada anime. Memang, sejak kecil di era 1990-an saya sudah mengenal anime melalui Doraemon, Dragon Ball, dan lain-lainnya. Namun di pertengahan dekade 2000-an, saya kehilangan minat pada animasi Jepang. Dengan akses kepada anime yang masih terbatas pada TV lokal, saat itu tidak ada anime di TV yang membuat saya tertarik menonton.
Baru setelah saya SMA ada layanan TV satelit di rumah, dan saat sedang bosan di suatu hari di tahun 2008, saya iseng menyetel Animax. Kebetulan yang sedang tayang siang itu adalah Kino no Tabi (Kino’s Journey), sebuah seri yang menghadirkan konten yang berbeda dari apapun yang pernah saya tonton hingga saat itu. Terkesan dengan caranya mengangkat pertanyaan-pertanyaan menarik mengenai manusia dan masyarakat melalui perjalanan bernuansa dongeng, saya jadi tahu bahwa anime kontemporer ternyata bukan cuma Naruto, dan saya menjadi rajin mengikuti tiap episode anime itu.

Lebih dari itu, hanya menonton saja tidak membuat saya merasa puas. Saya penasaran dari mana asalnya anime menarik itu dan setelah mencari informasi di internet, saya menemukan bahwa anime itu diadaptasi dari “light novel“. Perkenalan pertama saya dengan istilah itu terang saja membuat saya bingung; apakah maksudnya semacam “graphic novel“, seperti komik? Bisakah saya membacanya? Tentu saja akhirnya saya tahu bahwa novel ringan itu berupa prosa, seperti novel (atau untuk Kino no Tabi, tepatnya seperti cerpen). Tapi pertanyaan apa itu novel ringan sebenarnya terus menjadi pertanyaan dan bahasan yang menarik hingga sekarang.
Karena menonton Kino no Tabi juga, saya kemudian rajin menonton Animax dan mengenal anime-anime lain. Internet juga membantu saya menemukan anime-anime lain, apalagi setelah kemudian tidak bisa lagi melihat TV satelit dan merantau demi kuliah. Yang jelas, bermula dari Kino no Tabi saya akhirnya menjadi penggemar anime.
Salah satu anime yang saya tonton di masa-masa awal itu yang paling terasa berkesan adalah seri Haruhi Suzumiya yang diangkat dari novel ringan karya Nagaru Tanigawa dan masih sangat populer pada waktu itu. Dengan Haruhi lah, untuk pertama kalinya saya membaca novel ringan yang menjadi sumber animenya (saya baru berkesempatan membaca novel Kino belakangan), hingga berlanjut ke semua cerita yang belum diadaptasi menjadi anime.

Saking gemarnya saya, tidak hanya dulu saya belajar menari “Hare Hare Yukai,” saya menggali semua info yang bisa dicari hingga tahu nama semua teman sekelas Haruhi dan Kyon yang hanya nampak di latar belakang. Tapi puncak dedikasi saya sebagai penggemar Haruhi, tentu saja adalah ketika tiga tahun yang lalu saya berwisata ke kota Nishinomiya yang menjadi model kota tempat tinggal Haruhi dan kawan-kawan. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan untuk anime lain hingga sekarang.
Anime yang diadaptasi dari novel ringan kembali menjadi penanda momen penting dalam pengalaman saya sebagai penggemar anime, ketika di tahun 2011 untuk pertama kalinya saya mencoba menulis ulasan anime. Yang membuat saya terdorong untuk melakukannya adalah anime Taisho Baseball Girls yang saya ketahui dari berita di majalah Animonster. Diangkat dari novel ringan karya Atsushi Kagurazaka, saya terkesan dengan bagaimana animenya menampilkan topik relasi gender dan polemik modernisasi melalui cerita olah raga yang realistis, sehingga saya ingin menuangkan reaksi saya itu dalam tulisan. Sekarang tidak hanya Taisho Baseball Girls masih saya anggap sebagai salah satu anime yang paling sukai, ulasannya juga masih saya anggap sebagai salah satu ulasan terbaik yang pernah saya tulis (ulasannya telah saya tulis kembali dengan penyesuaian di KAORI).

Di tahun 2011 juga saya pertama kali mengikuti anime baru yang sedang tayang secara rutin. Saya memilih untuk menonton Ben-To yang diadaptasi dari novel ringan karya. Menceritakan para pemburu makanan diskon berantem di minimarket, walau tak terasa seistimewa Kino, Haruhi, atau Taisho Baseball Girls, tapi saya senang menanti aksi terbaru Yarizui-senpai setiap minggu, bahkan di sela-sela ujian semester.
Selama ini, saya merasa menemukan pengalaman yang cukup beragam melalui adaptasi novel ringan yang saya tonton. Selain beberapa contoh di atas, beberapa judul seperti Read or Die, Toradora, To aru Majutsu no Index, Baccano, Kyouran Kazoku Nikki, atau Jinrui wa Suitai Shimashita menghadirkan konten yang berbeda-beda mulai dari aksi, supranatural, romansa, komedi keluarga, hingga satir. Karakter utamanya pun tak selalu cowok yang dikelilingi gadis-gadis cantik; ada juga yang diampu oleh karakter utama perempuan atau mengandalkan ensemble cast yang kuat dan berimbang.

Dalam perkembangannya, novel ringan dan adaptasinya juga memiliki tren-trennya sendiri, seperti cerita pindah ke isekai yang sedang populer sekarang. Sebagian orang kemudian memandang adaptasi novel ringan dengan sebelah mata karenanya. Tidak semua tren novel ringan yang ada juga saya senangi. Tapi saya tidak akan malu mengakui bahwa berbagai adaptasi novel ringan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman saya berkecimpung di dunia anime. Juga tidak menutup kemungkinan jika ke depannya saya masih akan menonton adaptasi novel ringan, jika memang menawarkan konten yang menarik dan cocok buat saya (seperti anime Phantom World tahun lalu yang karakter-karakternya terasa relatable bagi saya dalam banyak arti).
Ironisnya, saya sebenarnya tidak banyak membaca novel ringan. Seri Haruhi Suzumiya adalah satu-satunya seri yang sudah saya baca sampai habis dan bahkan saya beli semua bukunya (walau edisi terjemahan). Saya pernah berusaha mengejar membaca Kino no Tabi dan To aru Majutsu no Index, namun keteteran. Pernah juga saya mencoba membaca Oreimo, namun tidak saya lanjutkan setelah buku pertama (saya tidak tahan membaca perbuatan-perbuatan Kirino yang terasa abusive). Belakangan ini saya malah mengisi waktu dengan membaca buku-buku Dostoyevsky atau cerpen-cerpen Seno Gumira dan Akutagawa. Tapi mungkin kapan-kapan saya akan melanjutkan membaca Kino, mumpung dia akan kembali lagi dalam anime di waktu dekat.
KAORI Newsline | Oleh Halimun Muhammad | Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca utk menulis opini tentang dunia anime & industri kreatif Indonesia. Opini ditulis 500-1000 kata dlm bhs Indonesia/Inggris & kirim ke [email protected]