MangaMon bekerja sama dengan Jurnal Otaku Indonesia menghadirkan acara bernama Creator Brand yang bertujuan untuk menyebarkan inspirasi dari para kreator serta pelaku industri kreatif di Indonesia kepada orang-orang yang tertarik untuk terjun dalam dunia industri kreatif Indonesia.
Pada acara yang dilaksanakan pada hari Minggu (10/12) lalu ini, hadir Komikus Sweta Kartika serta cosplayer Clarrissa Punipun yang berbagai pengalaman dan cerita bagaimana mereka memulai perjalanan mereka hingga meraih kesuksesan seperti sekarang di dalam Industri Kreatif Indonesia
Perjuangan Menjadi Komikus yang Tak Selalu Mulus
Sesi pertama acara ini dibuka oleh Sweta Kartika yang bercerta tentang pengalamannya menjadi seorang komikus.
Sweta termasuk dalam kelompok orang yang beruntung untuk bekerja dalam industri kreatif, khususnya sebagai seorang komikus. Sweta lahir dalam keluarga yang mendukungnya menjadi seorang komikus, memiliki bakat dalam hal tersebut, serta tidak terhalang oleh kendala biaya. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat jalan yang harus ditempuh oleh Sweta menjadi lancar tanpa halangan. Kegagalan-kegagalan yang dihadapi oleh Sweta umumnya dikarenakan oleh “sistem” yang hadir tanpa disadari.
Diceritakan ketika SMP, Sweta berhasil memenangkan juara pertama sebuah lomba komik yang diadakan oleh tabloid Hoplaa. Komik setiap pemenang akan dimuat dalam tabloid tersebut, akan tetapi pemuatannya dimulai dari pemenang urutan paling belakang. Itu berarti komik karangan Sweta yang juara pertama akan dimuat paling akhir. Namun, sayangnya, tepat seminggu sebelum komik karangannya seharusnya dimuat, tabloid Hoplaa berhenti terbit. Akibatnya, karya Sweta tersebut gagal dimuat, sehingga ia mengaku sempat kecewa dan berhenti untuk membuat komik, sampai akhirnya dirinya menjadi seorang mahasiswa di ITB, Bandung.

Pada saat menjadi mahasiswa, Sweta kembali mencoba untuk berjuang dan mengikuti lomba komik. Namun, perjuangannya tersebut kembali harus gagal dikarenakan kesalahan yang sepele. Diceritakan bahwa komik yang harus didaftarkan harus berjumlah 36 halaman termasuk satu halaman sampul yang dihitung terpisah. Akan tetapi, Sweta membuat komik berjudul Jump Street yang berjumlah 36 halaman termasuk sampul. Tanpa disadari, kesalahan kecil yang dibuatnya membuat komik Jump Street gagal sejak tahap awal seleksi. Padahal, jika dibandingkan dengan juara pertama dalam perlombaan tersebut, komik buatan Sweta bisa dikatakan masih dapat bersaing melawannya. Akibat pengalaman itu, sudah dua kali Sweta mengalami kegagalan dikarenakan oleh “sistem.”
Menjadi Komikus Tidak Hanya Tentang Membuat Komik
Selanjutnya Sweta juga menjelaskan bahwa hal yang paling penting dalam membuat komik bukan hanya tentang bagaimana cara membuat komik yang menarik para pembaca. Pembuat komik juga perlu paham mengenai branding. Sweta menjelaskan bahwa membuat komik sampai jadi hanyalah sekitar 50% dari proses. Proses selanjutnya adalah membuat komik itu dapat dijual dan dibeli oleh para pembaca. Jika telah sampai ke tahap tersebut, maka dapat dikatakan proses pembuatan komik telah mencapai 100%.
Mengenai branding, Sweta Kartika menjelaskan perlunya belajar untuk membuat image personal bagi diri sendiri dan karya yang akan dibuat. Sebagai contoh, jika ingin membuat karya komik dengan tema game, maka usahakan untuk banyak membahas hal-hal yang bertemakan game di setiap media sosial yang dimiliki, agar mengumpulkan para pembaca yang juga menikmati game. Hal tersebut juga turut membentuk pasar sesuai dengan apa yang ditargetkan untuk menjual hasil karya kita. Umumnya, topik yang mainstream jauh lebih diminati dan memiliki pasar yang luas dibandingkan dengan karya yang hanya berisikan idealisme dari sang pengarang.
Selanjutnya hal yang tidak kalah penting adalah branding terhadap diri personal, karena hal ini akan sangat berkaitan dengan kepercayaan publik atau pembaca kepada sang pengarang. Tidak menutup kemungkinan pembaca akan meninggalkan seorang pengarang komik yang memiliki attitude buruk di media sosial ataupun dunia nyata meskipun dirinya memiliki karya yang bagus. Oleh karena itu, disarankan untuk menghindari berbagai macam konflik atau umumnya saat ini lebih popular dengan sebutan “drama” yang ada di media sosial.
Berdiri Menjadi Seorang Komikus
Terakhir, Sweta menjelaskan bagaimana dirinya “mengalahkan“ setiap kekurangan yang dimilikinya. Meski Sweta telah memiliki bekal kemampuan menggambar yang baik dengan menguasai gambar anatomi, namun dirinya kesulitan untuk mencari pasar yang tepat untuk karyanya. Oleh karena itu, ia sempat memasuki periklanan untuk belajar bagaimana caranya memasarkan sebuah produk. Selain itu, Sweta juga menjadi illustrator novel dan fokus untuk belajar menggambar latar belakang yang diakuinya pada saat itu belum cukup pintar.

Pada tahun 2011, akhirnya Sweta berhasil menerbitkan komik pertamanya yang berjudul The Dreamcatchers. Diterbitkannya komik ini pun menjadi titik awal dari Sweta untuk memasuki dunia industri kreatif Indonesia yang pada akhirnya membuat dirinya menjadi komikus seperti sekarang ini.
Sebenarnya masih ada beberapa hal lagi yang dibahas oleh Sweta dalam acara ini, termasuk mengenai intellectual property yang sempat disinggung sedikit, serta pembahasan mengenai branding yang lebih mendetail. Namun, sepertinya saya akan membahas hal tersebut dalam artikel yang berbeda. Tetapi secara umum, cerita pengalaman Sweta sejak dirinya memulai perjalanan sebagai seorang komikus sampai menjadi seperti sekarang telah terangkum seperti di atas.
Halaman selanjutnya: Clarissa Punipun Berbagi Cerita Seputar Dunia Cosplay