Opini: Menanam Bom Waktu KRL Jabodetabek

1
Penumpang mengisi dan membeli tiket di Vending Machine tiket KRL Jabodetabek | Foto: Fasubkhanali

Hari ini tepat delapan tahun PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Kereta rel listrik (KRL) sudah menjadi moda transportasi para penglaju sejak kali pertama dibuka pada 1925. Seiring perjalanannya, beberapa momen besar telah dilalui seperti pengenalan KRL modern (1977), layanan KRL AC dengan KRL hibah Jepang (2000), sampai penghapusan kereta ekspres (2011) dan pengenalan tiket elektronik (2013).

Perpres 83 tahun 2011 menjadi “dasar” hukum pengembangan layanan KRL Jabodetabek dengan target KRL mampu mengangkut 1,2 juta penumpang per hari pada 2019 (sebelumnya, 2017). Tidak adanya penyertaan modal negara menyebabkan operator hanya mampu melakukan peningkatan pelayanan secara terbatas. Imbasnya, bom waktu yang tak dapat teratasi kecuali ada perubahan revolusioner baik dari internal PT KCJ maupun pihak-pihak yang bersinggungan dengannya.

Train to Manggarai: Juga di Kota dan Bogor

Antrian Manggarai bukan masalah baru. Sejak penambahan layanan KRL ekspres yang dilakukan tahun 2008, antrian mulai dirasakan. Konsep loop line yang diperkenalkan tahun 2011 secara langsung memanfaatkan sistem transit. Masalah antrian semakin parah karena KRL dari dua jalur (jalur lingkar dan layang) tujuan Bogor bertemu di Manggarai.

Walau tidak ada penambahan jadwal KRL jalur lingkar, antrian kronis semakin parah dengan beroperasinya kereta api barang (KA galon dan KA babarandek Nambo) yang melewati Manggarai. Keberadaan KA jarak jauh yang dengan mudah “menyodok” antrian saja sudah menyengsarakan dan kini ditambah dengan keberadaan KA barang tersebut. Khusus kasus KA jarak jauh, ternyata berlaku sistem petak jalan antara Manggarai-Jatinegara. Ini berarti kereta apapun tidak bisa diusir dari Manggarai sebelum Jatinegara aman dimasuki kereta.

Akibatnya jelas: dalam kondisi saat ini tanpa pembangunan DDT dan rehab Manggarai, antrian bisa memanjang sampai 45 menit bahkan 1 jam. Bahkan imbas dari tingginya angka keterlambatan dan padatnya lintas saat ini, muncul fenomena baru: antrian masuk stasiun Jakarta Kota dan masuk stasiun Bogor. Dengan mudah pada jam-jam sibuk, KRL-KRL berhenti memasuki stasiun terminus – seringkali hingga 30 menit.

Tidak adanya program renovasi persinyalan baik pemasangan ATS dan ATC di seluruh lintas Jabodetabek dalam waktu dekat akan memperparah bom waktu tersebut. Program ATS terdekat (yang dibuat setelah PLH / kecelakaan KRL di Juanda) baru akan diterapkan di lintas layang, dua tahun mendatang. Itu berarti Indonesia sudah tertinggal 50 tahun (and still counting) dari JR East yang memasang ATS pada 1966 setelah kecelakaan besar tahun 1962.

Solusi cepat yang bisa ditempuh untuk mengurangi – setidaknya mengurangi kecemburuan sosial dan potensi gesekan antar penumpang – adalah dengan menerapkan sistem first in first out. Tidak boleh ada kereta api yang bisa menyodok antrian Manggarai. Hal ini bisa mengurangi penderitaan penumpang khususnya penumpang KRL lintas Bekasi yang harus sabar menanti 30 menit disusul beberapa KA jarak jauh di Manggarai.

Selain itu, operator dapat bekerja sama dengan moda transportasi lain seperti Transjakarta dan menginformasikan kepada penumpang alternatif transportasi lain yang bisa digunakan jika tidak ingin tersentuh neraka Manggarai. Transjakarta Pinang Ranti – Kota / Bundaran Senayan mampu mengakomodasi penumpang di kawasan Sudirman – Thamrin yang harus terjebak selama satu jam memasuki antrian Manggarai. Sementara penumpang tujuan Serpong bisa dilayani dengan Transjakarta Palmerah – HI sehingga tidak perlu melewati neraka transit di Tanah Abang (dijelaskan di bawah.)

Penumpang tentu tidak dapat menerima permintaan maaf dan perlu mendapatkan alternatif transportasi lain.

Prasarana yang Tidak Memadai

Pembangunan dan renovasi stasiun-stasiun seperti Palmerah, Kebayoran, dan Parung Panjang merupakan inisiatif Kementerian Perhubungan dengan dana dari APBN. Operator sarana dan prasarana tentu tidak memiliki keleluasaan finansial yang sama untuk membangun prasarana yang layak.

Bom waktu lain sudah terlihat di sejumlah stasiun padat penumpang. Stasiun Sudirman yang direnovasi 2010 terlihat sudah kewalahan untuk mengakomodasi penumpang yang turun dan naik. Pada pagi hari, penumpang terpaksa melewati minimarket dan eskalator terpaksa dioperasikan naik ke atas karena area yang ada sangat sempit dan membahayakan. Kapasitas pedesterian di area di luar stasiun pun sudah tidak memadai dan di trotoar transit antara stasiun KRL dengan stasiun (halte) BRT, pejalan kaki terpaksa menginjak tanah.

Di stasiun Tanah Abang, kapasitas maksimum sudah melampaui jumlah ideal. Desain awal yang mampu mengakomodasi 30 ribu penumpang kini melayani 100 ribu penumpang transit setiap hari. Stasiun terpaksa dilayani dengan sistem buka-tutup pada hari-hari tertentu seperti libur akhir pekan. Memang ada pembangunan sarana penyeberangan baru di bagian utara, tetapi tidak akan cukup mengakomodasi peningkatan penumpang ke depannya.

Di stasiun Bogor, penumpang disajikan dengan area olahraga bernama jembatan penyeberangan. Untuk keluar-masuk stasiun penumpang harus memutar jauh dan melewati celah tangga yang sangat sempit. Alasan operator, “di Jepang orang juga berjalan jauh.” Tidak masuk akal karena fasilitas pejalan kaki di stasiun besar Jepang meski sama-sama berjalan jauh, tapi jauh lebih nyaman dan ramah penyandang disabilitas.

Penderitaan penumpang seluruh stasiun-stasiun tersebut dibuat lengkap dengan gate tiket elektronik yang lambat. Penumpang harus menyentuh kartunya hingga lima detik pada gate sejumlah stasiun, itu pun bila tidak error baik karena mesin lambat atau kartu bank yang menyusahkan karena waktu responnya yang lebih lambat dari kartu milik operator. Petugas terpaksa melayani penumpang yang sudah dipusingkan dengan dilema-dilema tersebut. Sebagai perbandingan, kapasitas gate tiket elektronik di stasiun-stasiun besar Jepang adalah 1 orang / detik.

Denah kapasitas lintas KRL Jabodetabek. (Andi Ardiansyah)
Denah kapasitas lintas KRL Jabodetabek. (Andi Ardiansyah)

Informasi Menyesatkan dan Penjara Aplikasi Tanpa Solusi

Bom waktu lain yang disemai adalah keberadaan informasi. Sejumlah inovasi telah dilakukan di antaranya dengan menyediakan papan informasi elektronik, perbaikan pengumuman di stasiun dan di dalam rangkaian, serta penyediaan aplikasi mobile KRL Access di platform Android dan iOS.

Layanan di dalam KRL sudah mengalami banyak peningkatan walau masih ditemui petugas yang enggan menginformasikan buka-tutup pintu, tidak tertib prosedur (tidak turun dari KRL saat buka-tutup pintu), atau kerusakan sistem pengumuman. Layanan informasi di dalam stasiun yang kini menjadi masalah besar.

Di sejumlah stasiun, papan informasi LED sering memberi informasi menyesatkan, entah rusak atau tidak sesuai dengan kereta yang akan datang. Ini sangat terasa saat di Manggarai di mana LED bisa berkedip hingga tiga kali. LED di jalur 5 misalnya, bisa berkedip Kampung Bandan, Manggarai, dan Jakarta Kota untuk kereta yang sama. Penumpang yang menunggu transit dan kesulitan mendengar pengumuman akan tersiksa dengan ini.

Bahkan bila LED tersebut memberikan informasi yang benar, ada kesalahan desain yang cukup mendasar. Penumpang hanya disuguhi informasi generik “berangkat Sudirman” tanpa ada perkiraan waktu kedatangan. Ini di luar keputusan pemasangan LED yang entah kenapa hanya bisa menampilkan posisi kedatangan satu kereta tanpa tahu posisi kereta selanjutnya.

Siksa penumpang transit bertambah dengan pengumuman yang tidak jelas dan kebijakan transit yang tidak bijak. Di Manggarai, penumpang dari Bekasi yang sangat mengandalkan KRL feeder di jalur 7 sering ditipu karena KRL berangkat terlebih dahulu, tanpa pengumuman bagi penumpang yang hendak naik. Di Tanah Abang, cerita lama penumpang Serpong ditinggal transit oleh KRL tujuan Sudirman.

Keputusan untuk bepergian semakin dipersulit dengan penyediaan aplikasi yang tidak memadai. Aplikasi KRL Access yang dikerjakan oleh tim IT internal operator tidak ramah pengguna dengan huruf yang kecil, sering hang dan crash, serta desain yang kurang profesional. Penumpang pun beralih ke aplikasi-aplikasi seperti Info KRL dan Jakarta Cityline yang lebih modern dan mudah dipergunakan. Alih-alih memperbaiki aplikasinya, operator justru bermain kucing dan tikus dengan pengembang aplikasi-aplikasi tersebut. Menutup tanpa memberikan solusi yang lebih baik.

Doa Untuk Berani Berubah

Saat hari lahirnya dirayakan di stasiun Tanjung Barat delapan tahun yang lalu, ada doa dan harapan besar bahwa KRL akan mampu menjadi tulang punggung utama transportasi megapolitan.

Proyek-proyek besar seperti jalur double-double track dan renovasi stasiun Manggarai akan meledakkan bom-bom kecil tersebut.

Semoga momen delapan tahun ulang tahun KCJ menjadi momen refleksi, mengevaluasi kembali detail-detail kecil tetapi signifikan tersebut. Semua tentu berdoa agar pelayanan kereta api komuter bisa lebih baik dan hal tersebut harus diiringi dengan satu hal mendasar: mulai mendengarkan apa kata pengguna.

Oleh Kevin W

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses