Dua tahun yang lalu, saya pernah menulis mengenai menyebalkannya memotret kereta di Indonesia. Selama dua tahun itu pula, ternyata ada banyak hal yang terjadi di perkeretaapian Indonesia, tetapi “puasa panjang” memotret kereta itu telah berakhir dengan hadirnya MRT Jakarta.
Saya menyukai dunia transportasi sejak tahun 2007. Itu berarti sudah 10 tahun sejak saya pertama memotret kereta api di stasiun Bogor. Kegiatan memotret bagi saya bukan kegiatan profesional sebagaimana para fotografer pre-wedding membawa alat tempurnya. Memotret bagi saya adalah hal yang dilakukan secara tiba-tiba, ketika sedang ingin, ketika ada momen-momen tertentu yang menarik diabadikan. Bagi saya, memotret kereta juga upaya saya untuk berdamai dengan diri sendiri, selain mengabadikan perubahan-perubahan cepat di dalam KRL Jabodetabek. Tetapi dengan buruknya pengalaman saya selama dua tahun belakangan, saya memutuskan untuk berpuasa, tidak lagi memotret kereta eksisting di Indonesia. Tidak lagi menemukan kedamaian dengan menggunakan kereta eksisting. Hubungan emosional yang tadinya ada dan dapat muncul dengan menggunakan dan memotret kereta, telah hilang.
Maka uji coba publik pertama MRT Jakarta akhirnya tiba pada Selasa, 12 Maret 2019. Selasa lalu memang bukan kali pertama saya mencoba MRT Jakarta. Nyatanya, saya (bersama rekan-rekan di KAORI saat itu) telah mengunjungi MRT Jakarta sejak stasiun Bundaran HI masih dalam bentuk gorong-gorong, saat tunnel boring machine Antareja masih wara wiri dan bertemu dari Sisingamangaraja dan Bundaran HI. Saat dahulu memasuki terowongan MRT, kekaguman saya hanya pada titik “oh, akhirnya Jakarta punya 地下鉄 (chikatetsu)、akhirnya Jakarta punya kereta bawah tanah.” Begitu pula saat Ratangga pertama kali dibuka untuk publik, sensasi yang pertama terasa adalah, “oh, seperti kereta Tokyo Metro.” Pun tanggal 12, tidak ada hal yang spesial saat mencoba MRTJ dari Lebak Bulus sampai HI.
Tetapi ternyata saat mengikuti uji coba publik hari Sabtu (17/3), ada sesuatu yang hilang dan akhirnya saya temukan kembali. Ternyata begini rasanya berdiskusi dengan teman-teman yang sehobi dan bisa melewatkan siang bersama di stasiun. Suatu sensasi yang sudah lama, sangat lama sekali tidak dirasakan di Indonesia. Suatu pengalaman yang terakhir saya rasakan ketika berkunjung ke Jepang akhir tahun lalu.
Di stasiun-stasiun JR East dan Tokyo Metro, tidak ada petugas yang menanyakan apa keperluan saya mengambil gambar. Paling, hanya menegur supaya mengambil foto di belakang garis kuning dan menegur supaya tidak lari pecicilan di sepanjang peron. Sebagai orang yang rela mengeluarkan uang untuk duduk, jajan, dan melewatkan hari di peron, rasa-rasanya mimpi jadi kenyataan saat melihat pengalaman di Jepang itu kini tidak perlu lagi diraih dengan pergi ke Jepang, namun cukup dengan pergi ke stasiun Lebak Bulus sampai Bundaran HI.

Petugas pengamanan di peron pun tampak cukup ramah dalam menjalankan tugasnya. Memang beberapa kali petugas di Lebak Bulus menegur para remaja-remaji yang mengambil foto seenaknya. Ada yang menaruh kamera di atas platform screen door (PSD), ada yang mengambil swafoto dengan tongsis padahal kereta memasuki emplasemen dengan kencang, dan beragam perilaku warganet lainnya. Tetapi di luar itu, rasa-rasanya ketika bisa mengambil foto di stasiun tanpa rasa was-was, di situ hati sudah damai.
Masih banyak kekurangan dari segi operasi dan pelayanan di MRT Jakarta yang perlu diperbaiki. Namanya juga uji operasi. Tetapi suasana hari Sabtu siang di stasiun Sisingamangaraja ini terasa seperti sebuah lompatan besar bagi saya. Setelah dua tahun lebih tidak dapat berdamai dengan diri sendiri, MRT Jakarta akhirnya memberikan tempat itu bagi saya.
Mungkin saya tidak akan pernah menggunakan MRT Jakarta secara rutin, setiap pagi dan sore. Tetapi ketika naik turun kehidupan itu datang, saya akan datang menaiki Ratangga, melihat suasana stasiun MRT Jakarta, dan melepaskan sedikit beban hidup yang ada, sebelum siap menyambut esok hari kembali.
Terima kasih dan selamat datang, MRT Jakarta!
Oleh Kevin Wilyan | Disclaimer: saat ini penulis tidak lagi menangani KAORI Nusantara secara aktif dan kini telah bekerja di salah satu operator kereta di Indonesia.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.