Bongkar Salah Kaprah Mengenai Industri Anime Bagian 4 : 3D vs 2D

1

Lanjutan dari Bagian 3.

3D2D

“Sekarang robot dan mobil di anime hampir semuanya pakai 3DCG, animasi karakter juga mulai banyak yang pakai 3DCG. Pasti karena 3DCG lebih murah”

Untungnya, Minezawa Takuya, seorang CG animator dari Toei telah menjelaskan panjang lebar mengenai masalah ini dalam rangkaian tweetnya: http://yaraon.blog109.fc2.com/blog-entry-23912.html . Takuya menyebutkan bahwa, tidak seperti asumsi orang-orang, 3DCG tidaklah lebih mudah diproduksi dan malah memakan biaya yang lebih banyak daripada daripada animasi tradisional. Lalu kenapa 3DCG tetap dipakai? Faktor utama yang menyebabkan 3DCG tetap dibutuhkan oleh industri anime Jepang adalah karena kurangnya tenaga animator 2D yang handal dan karena keterbatasan waktu.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jumlah animator handal yang ada tidak mampu mengimbangi jumlah anime yang diproduksi tiap musimnya, belum lagi apabila ada objek atau adegan khusus yang hanya bisa dikerjakan segelintir animator handal/veteran seperti: mecha, adegan fighting, camera panning, background animation, atau group dance yang notabene tingkat kesulitannya sangat tinggi. Dan animator-animator yang memiliki kemampuan untuk mngerjakan adegan-adegan itu tentu saja jadwalnya sangatlah padat. Lalu, akibat keterbatasan waktu, studio yang tidak dapat menemukan animator 2D lain yang mau dan mampu mengerjakan adegan-adegan seperti itu, akhirnya dihadapkan pada dua pilihan: maju terus memakai animator berkemampuan seadanya, atau… memakai 3DCG. Tentu saja 3DCG menjadi pilihan yang lebih aman, selain itu 3DCG animator juga jumlahnya cukup banyak sehingga menemukan 3D animator atau studio dengan jadwal yang tepat menjadi hal yang tidak sulit.

Dan walaupun animasi 3DCG tidak lebih mudah untuk diproduksi, namun objek/model 3DCG yang sudah dibuat dapat digunakan berulang-ulang, sehingga memungkinkan produksi masal sebuah objek/model dalam waktu yang singkat.

Lalu bagaimana dengan anime full 3DCG seperti Arpeggio dan Sidonia? Anime seperti itu merupakan kasus khusus, di mana keduanya dibuat oleh Studio Sanzigen dan Polygon Pictures* yang memang merupakan studio animasi 3D berisi animator-animator yang hanya mampu bekerja menggunakan 3D software. Jadi alasan anime-anime yang dibuat oleh studio tersebut tidak menggunakan animasi 2D sama sekali bukan karena mereka tidak mau, ataupun karena 3DCG lebih murah, tapi karena mereka memang tidak mampu membuat animasi 2D.

Kesulitan dan Masalah dalam Aplikasi Animasi 3DCG pada Anime

Animasi 3DCG dalam anime sayangnya seringkali terlihat aneh, canggung, atau janggal. Hal ini disebabkan kesulitan pengaplikasian animasi 3DCG ke dalam limited animation. Mitsuo Iso pernah menyebutkan mengenai hal ini, dalam wawancaranya mengenai episode 15 Rahxephon :

Aku sendiri, sebagai animator yang berlatar belakang animasi tradisional, merasa bahwa memanipulasi parameter frame di animasi 2D lebih mudah daripada 3D. Bagiku, hal yang membuat sebuah animasi terlihat ‘hidup’ adalah gerakan yang menarik serta penggunaan frame yang efektif. Dan aku menemukan bahwa aspek-aspek tersebut sulit  ditangani dengan baik dalam animasi 3D

Sulitnya memanipulasi parameter-parameter tersebut serta sifat dari 3DCG itu sendiri juga sayangnya mejadi batasan bagi animator-animator 3DCG untuk membuat animasi-animasi yang idiosinkratik.

Studio Sanzigen sudah pernah mencoba mengaplikasikan limited animation pada 3DCG di seri Aoiki Hagane no Arpeggio, namun agaknya animator 3DCG yang belum terbiasa dengan limited animation mengalami kesulitan menginkorporasi gerakan, timing, dan sense of weight ke dalamnya sehingga hasilnya tidak maksimal.

Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan kombinasi antara animator 2D yang sudah terbiasa dengan timing limited animation, dengan animator 3DCG sendiri. Contoh kombinasi yang apik antara keduanya bisa dilihat pada seri TV Black Rock Shooter, di mana Hiroyuki Imaishi (animator & sutradara Gurren Lagann) menempati kursi 3DCG battle director dan mengaplikasikan timingnya sendiri ke dalam 3DCG BRS.

 

Selain BRS, salah satu video dalam animator Expo yang berjudul Casette Girl  juga merupakan contoh kombinasi antara Shigeto Koyama, staf yang telah berpengalaman dalam animasi 2D, dengan animator 3DCG. Anda bisa melihat juga bagaimana mereka menampilkan elemen-elemen yang sering muncul pada animasi 2D seperti impact frames.

Bersambung ke Bagian 4.

*Ralat: Sebelumnya ditulis bahwa Sidonia diproduksi Sanzigen, namun sebenarnya Sidonia diproduksi oleh Polygon Pictures. Terima kasih pada Adit atas ralatnya

KAORI Newsline | oleh Yoza Widi

1 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses